Mohon tunggu...
Didit dit
Didit dit Mohon Tunggu... Guru -

mensyukuri hidup dengan cara menjalaninya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila yang Syar'i, Indonesia yang Khilafah

28 Januari 2019   20:21 Diperbarui: 28 Januari 2019   21:11 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan Denny J.A berjudul NKRI bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi sungguh menarik. Tulisan tersebut merupakan respon dari konsep NKRI bersyariah yang digagas oleh Habib Rizieq dan diamini oleh beberapa kelompok Islam di Indonesia. 

Dalam tulisan tersebut dapat kita simbulkan bahwa kosnep NKRI bersyariah adalah gagasan yang premature. Lewat tulisannya itu, Denny J.A. membawa konsep NKRI Bersyariah ke dalam ruang diskusi yang akademis sehingga publik dapat memberikan penilaian yang objektif.

Konsep NKRI bersyariah adalah gagasan yang mengusung semangat formalisasi syariat Islam dalam hukum negara. Konsep semacam ini tentu bukan baru-baru ini saja muncul. Di era Pergerakan Nasional perdebatan tentang relasi Islam dan negara sudah mencuat di kalangan cendekiawan. Bahkan di awal pembentukan negara ini yakni pada sidang BPUPKI, terjadi perdebatan alot antara tokoh nasionalis dan tokoh Islam soal bentuk negara.

Tentang formalisasi syariat Islam dalam hukum negara sebenarnya tidak hanya jadi perdebatan, tapi bahkan sudah dilaksanakan di Indonesia yang diinisiasi tokoh-tokoh Islam. Hadirnya UU perkawinan, zakat, wakaf, perbankan syariah, dan lainnya merupakan bukti bahwa negara mengakomodir kepentingan umat islam dalam upaya formalisasi syariat Islam.

Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana formalisasi ini akan diterapkan? Apakah hanya pada taraf mengatur cara peribadatan umat Islam, ataukah sampai pada dijadikannya syariat Islam sebagai dasar negara?

Intervensi Penuh Negara dalam Kehidupan Beragama, Bolehkah?

Mengenai relasi hukum Islam dengan realitas sosial, termasuk soal kenegaraan, menurut Mahsun Fuad menghasilkan dua teori yang berbeda. Pertama, hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang bersifat normatif, yakni abadi, tetap, dan tidak mengalami perubahan. Sementara pandangan yang kedua, hukum islam dipandang bersifat adaptabel, yakni bersifat terbuka terhadap perubahan.

Di Indonesia, antara kelompok Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hal ini. Kelompok-kelompok radikal, seperti HTI, berpandangan bahwa hukum Islam bersifat normatif, kelompok yang sangat tekstualis ini berpandangan bahwa negara harus punya otoritas penuh terhadap penerapan syariat Islam. Negara diperbolehkan menghukum masyarakat yang tidak menjalankan syariat seperti sholat, berbusana muslim, dan lain sebagainya. Artinya negara memiliki otoritas dan intervensi penuh dalam mengontrol kesalehan rakyatnya.

Sementara itu, kelompok moderat seperti NU dan Muhammadiyah memiliki pandangan yang berbeda. Bagi kelompok ini, ada bagian dari hukum Islam yang normatif dan ada pula yang bersifat adaptabel yang membuka ruang ijtihad. Kelompok moderat seperti ini bersifat lebih konstektual dan menganggap urusan kesalehan adalah urusan pribadi, negara tidak berhak mengontrol.

Dalam tulisan Denny J.A, konsep NKRI bersyariah dipandang masih perlu dijelaskan lebih lanjut. Apa yang dimaksud NKRI bersyariah? Apa tolak ukur tingkat 'kesyariatan' suatu negara? Bagaimana negara dianggap sangat bersyariah, kurang bersyariah, atau tidak bersyariah? Apakah konsep NKRI bersyariah serupa dengan konsep kenegaraan HTI, yakni pemberlakuan sistem Khilafah -hasil tafsiran HTI- yang hendak membawa umat Islam ke dalam normatifitas hukum Islam dan memberikan negara kontrol penuh atas kesalehan masyarakatnya. Padahal Islam sendiri sangat toleran ketika menyebutkan tidak ada paksaan dalam agama.

Islam substantif

Dalam tulisannya, Denny J.A. mencantumkan hasil riset Yayasan Islamicity Index yang mengkaji tentang bagaimana ruang publik Yang Islami sesuai dengan nilai-nilai dalam Al-Quran. Lembaga tersebut membuat indikator-indikator untuk mengukur seberapa islaminya ruang publik di suatu negara. 

Menariknya, setelah indikator-indikator tersebut diterapkan untuk mengukur berbagai negara, ternyata top 10 negara yang memenuhi syarat sebagai negara yang islami itu adalah negara-negara barat. Artinya secara mengejutkan negara barat yang dihuni oleh mayoritas non muslim ternyata menerapkan nilai-nilai islami. Negara yang dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islam justru mendapatkan nilai yang cenderung rendah.

Penerapan nilai Islam di negara-negara barat tentu tidak diniati untuk menegakan syariat Islam secara formal, melainkan untuk menciptakan ruang publik yang manusiawi. Namun, upaya menciptakan ruang publik yang manusiawi tersebut justru memiliki substansi penegakan syariah. Artinya ketika suatu negara berupaya menciptakan ruang publik yang manusiawi dengan cara menegakan nilai-nilai seperti keadilan, kebebasan, penegakan hukum dan HAM, good governance, dan kemakmuran berarti juga sudah menegakan syariah karena nilai-nilai tersebut adalah substansi dari nilai-nilai Islam.

Pancasila itu sudah syar'i, Indonesia juga sudah khilafah

Berdasarkan cara berpikir di atas maka tidak heran jika cendekiawan muslim seperti Mahfud MD, Habib Luthfi, dan Emha Ainun Nadjib pernah menyatakan bahwa Indonesia itu sudah khilafah. Alasan yang disampaikan oleh Mahfud MD misalnya menyebutkan bahwa subtansi dalam negara Islam adalah menciptakan keadilan, tidak korupsi, dan mengutamakan kemaslahatan umat, sementara untuk bentuk negara, Islam memberikan kelonggaran. Memperhatikan hal tersebut maka menurut Mahfud, secara substansi Indonesia ini sudah negara Islam.

Emha Ainun Nadjib juga memberikan pandangan yang serupa. Secara filosofis, menurut Emha, khilafah serupa benih yang isinya nilai-nilai Islam. Benih ini akan tumbuh menjadi pohon yang bermacam-macam sesuai 'iklim, cuaca, dan petani' di tempat benih itu ditanam. 

Di Indonesia benih itu tumbuh dalam 'pohon' republik dengan pancasila sebagai dasarnya dan bhineka tunggal ika sebagai semboyannya, di barat benih itu tumbuh menjadi pohon-pohon yang bermacam-macam. Walaupun pohonnya berbeda, tapi substansinya sama, yakni nilai-nilai Islam. Maka Indonesia, termasuk juga pancasila merupakan bagian dari khilafah dan penegakan syariah.

Upaya menciptakan ruang publik yang manusiawi bukanlah upaya menentang penerapan syariah juga penegakan akidah Islam. Justru dalam rangka menciptakan ruang publik yang manusiawi, perlindungan kepada para pemeluk agama (termasuk Islam) untuk beribadah dan beriman sesuai dengan kepercayaannya sangat dilindungi. Menegakan syariah tidak dapat dilakukan dengan memberangus kemanusiaan. Menegakan syariah tidak dapat dilakukan tanpa memuliakan manusia, menegakan keadilan, memberikan kebebasan, menegakan hukum dan melindungi HAM. Menegakan syariah tidak dapat tidak sejalan dengan upaya menciptakan ruang publik yang manusiawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun