Tulisan Denny J.A berjudul NKRI bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi sungguh menarik. Tulisan tersebut merupakan respon dari konsep NKRI bersyariah yang digagas oleh Habib Rizieq dan diamini oleh beberapa kelompok Islam di Indonesia.Â
Dalam tulisan tersebut dapat kita simbulkan bahwa kosnep NKRI bersyariah adalah gagasan yang premature. Lewat tulisannya itu, Denny J.A. membawa konsep NKRI Bersyariah ke dalam ruang diskusi yang akademis sehingga publik dapat memberikan penilaian yang objektif.
Konsep NKRI bersyariah adalah gagasan yang mengusung semangat formalisasi syariat Islam dalam hukum negara. Konsep semacam ini tentu bukan baru-baru ini saja muncul. Di era Pergerakan Nasional perdebatan tentang relasi Islam dan negara sudah mencuat di kalangan cendekiawan. Bahkan di awal pembentukan negara ini yakni pada sidang BPUPKI, terjadi perdebatan alot antara tokoh nasionalis dan tokoh Islam soal bentuk negara.
Tentang formalisasi syariat Islam dalam hukum negara sebenarnya tidak hanya jadi perdebatan, tapi bahkan sudah dilaksanakan di Indonesia yang diinisiasi tokoh-tokoh Islam. Hadirnya UU perkawinan, zakat, wakaf, perbankan syariah, dan lainnya merupakan bukti bahwa negara mengakomodir kepentingan umat islam dalam upaya formalisasi syariat Islam.
Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana formalisasi ini akan diterapkan? Apakah hanya pada taraf mengatur cara peribadatan umat Islam, ataukah sampai pada dijadikannya syariat Islam sebagai dasar negara?
Intervensi Penuh Negara dalam Kehidupan Beragama, Bolehkah?
Mengenai relasi hukum Islam dengan realitas sosial, termasuk soal kenegaraan, menurut Mahsun Fuad menghasilkan dua teori yang berbeda. Pertama, hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang bersifat normatif, yakni abadi, tetap, dan tidak mengalami perubahan. Sementara pandangan yang kedua, hukum islam dipandang bersifat adaptabel, yakni bersifat terbuka terhadap perubahan.
Di Indonesia, antara kelompok Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hal ini. Kelompok-kelompok radikal, seperti HTI, berpandangan bahwa hukum Islam bersifat normatif, kelompok yang sangat tekstualis ini berpandangan bahwa negara harus punya otoritas penuh terhadap penerapan syariat Islam. Negara diperbolehkan menghukum masyarakat yang tidak menjalankan syariat seperti sholat, berbusana muslim, dan lain sebagainya. Artinya negara memiliki otoritas dan intervensi penuh dalam mengontrol kesalehan rakyatnya.
Sementara itu, kelompok moderat seperti NU dan Muhammadiyah memiliki pandangan yang berbeda. Bagi kelompok ini, ada bagian dari hukum Islam yang normatif dan ada pula yang bersifat adaptabel yang membuka ruang ijtihad. Kelompok moderat seperti ini bersifat lebih konstektual dan menganggap urusan kesalehan adalah urusan pribadi, negara tidak berhak mengontrol.
Dalam tulisan Denny J.A, konsep NKRI bersyariah dipandang masih perlu dijelaskan lebih lanjut. Apa yang dimaksud NKRI bersyariah? Apa tolak ukur tingkat 'kesyariatan' suatu negara? Bagaimana negara dianggap sangat bersyariah, kurang bersyariah, atau tidak bersyariah? Apakah konsep NKRI bersyariah serupa dengan konsep kenegaraan HTI, yakni pemberlakuan sistem Khilafah -hasil tafsiran HTI- yang hendak membawa umat Islam ke dalam normatifitas hukum Islam dan memberikan negara kontrol penuh atas kesalehan masyarakatnya. Padahal Islam sendiri sangat toleran ketika menyebutkan tidak ada paksaan dalam agama.
Islam substantif