foto: Okezon.com
sudah berapakali saya mendengar Prabowo mengatakan jika dia tidak dpercayai oleh sebagian besar rakyat Indonesia (kalah dalam pilpres), dia akan menerima keputusan rakyat untuk tidak memilihnya sebagai presiden.
- " Kalau saya kalah dalam pemilihan presiden, ya tidak apa apa, Pak Jokowi juga adalah salah satu putera terbaik bangsa, saya akan mendukung pemerintahan pak Jokowi( dalam arti menerima negara menjalankan program program Jokowi JK) ".
- " Kalau saya kalah saya masih akan berjuang untuk rakyat (dalam arti pada kesempatan dan tempat yang berbeda)".
*Tentunya ini kita sadari ucapannya karena perjuangan Prabowo sebagai prajurit, sebagai intelektual bangsa, sudah jauh dari cukup. Walau rakyat belum mengucapkan terimakasih, walau sekelompok besar rakyat mencaci karena salah mengerti, karena diracuni sekeompok kecil orang yang " benar melihat obyek(peristiwa Ham) tapi salah persepsi/pengamatan ". Prabowo akan tetap berjuang untuk rakyat Indonesia dengan caranya sendiri.
*Sementara pasangan capres no 2, Jokowi JK, "kalau saya kalah atau tidak jadi presiden, No Coment", dalam arti tidak pernah saya mendengar beliau mengatakan hal ini. Beliau diam dalam hal ini., seperti beliau diam didepan gedung KPK ketika ditanya masalah korupsi busway Trans Jakarta.
Diam nya Jokowi tentu mempunyai banyak makna. Makna yang keluar beragam dari hasil pemikiran, dugaan/persepsi rakyat Indonesia, makna yang cenderung minus, bahkan negatif.
Sebagai Gubernur atau pejabat yang paling berwenang(tentu paling bertanggung jawab), mengapa tidak menjawab pertanyaan berdasar atas jabatan yang telah didudukinya, atas pekerjaan yang dijalaninya. Padahal untuk kepada baru "CALON" yang bakal menduduki jabatan ini saja sudah punya kewajiban "MENJAWAB " . Dan Jokowi patuh menjawabnya dalam debat pada waktu itu (sebagai calon gubernur). Aturan apa ini?, dinegara mana ini ? buat apa ini?
Apakah ada yang disembunyikan? Apakah logis kalau kita berfikir kebalikkan, "Ah pasti ini dikarenakan tidak ada masalah yang berkaitan dengan hukum"
-Apakah semua ini disebabkan karena iklim politik ? Ya !
-apakah ada niat kubu Prabowo untuk menjegal Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden? Ya! logis ! (kemungkinan kecil tidak, juga ada).
Lantas apakah hukum harus pakum ? Padahal(menurut saya) yang utama untuk "DEMI" adalah NEGARA, dengan HUKUM adalah panglimanya. Apakah sekarang tidak ada negara? Apakah sekarang tidak ada PEMERINTAHAN ?
Masalah " Pilpres" adalah amanat undang undang yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, untuk mengangkat presiden di masa pemerintahan baru. Bandingkan tingkatannya antara HUKUM dengan PILPRES !
Yang masih mengganjal(semua sudah lewat), Apakah masalah hukum yang di bekukan tadi akan dibuka setelah ada presiden/terbentuknya pemerintahan baru? Atau terus di dep?! Atau adakah yang bisa menjamin ini nantinya tidak akan ada intervensi !
Kembali kepada masalah kalau capres tidak terpilih.
Kalau dilihat Kubu merah putih(Prabowo Hatta) adalah kubu gemuk, dalam arti gemuk oleh pakar pakar kelas I dalam bidang apapun, maka Pembagian/persaingan kursi di pemerintahan kubu ini sangatlah ketat. Ditambah juga kalau Prabowo mau membaginya untuk kubu sebelah. Logikanya, para pakar yang mau mendukung Prabowo pastilah agak kurang optimis, lebih berada pada posisi/sikap nrimo. Misalkan saja pakar Ekonomi Faisal basri(saya berpendapat beliau adalah seorang pakar,namun beliau masih berada di deretan kelas dua), tentu pakar seperti beliau saja saya anggap tipis untuk mengharapkan dapat kursi di kubu ini.
Sementara dikubu kurus Jokowi, kubu ini kurus kwalitas, kurus kwantitas pakar. Sementara Faisal basri saya Anggap beliau adalah pakar elit di grup ini, diantara pakar pakar lainnya yang secara nasional saya anggap berada dikelas tiga ( walau ini hanya pendapat dari awam seperti saya). Sehingga persaingan di grup ini jauh lebih ramai, seru, dan memberikan banyak peluang!
Tentu hal ini sebelumnya sudah jadi pertanyaan saya, kenapa Golkar atau partai pendukung Prabowo tidak ikut berkoalisi dengan PDIP mendukung Jokowi menggilas Prabowo, yang rasanya peluangnya tidak akan sebesar sekarang. Apakah ini karena idealisme, visi dan misi, atau sakit hati?
Hanya Jusuf Kalla(JK) yang sebelumnya banyak ide idenya yang bertentangan dengan program program Jokowi, dan yang tadinya terang terangan menyatakan pendapatnya, yang melihat kebelum mampuan Jokowi untuk menjadi presiden, berikut konsekwensi/resikonya, jadi ikut bergabung dengan kubu Jokowi, Faktor X apa yang membuatnya berubah, wapres kah?
Tidak berkoalisinya Golkar ke PDIP untuk membuat Prabowo tidak sekuat sekarang, sekaligus juga membantah pendapat idola saya "Hanta Yudha" pakar politik kelas I, yang mengatakan Golkar berpolitik dua kaki, dimana kalau Jokowi menang Golkar akan merapat ke kubu ini. Tapi kenapa tidak dari dulu, lebih pasti berhasil!
Saya tidak kagum kalau orang itu tidak pintar. Hanta Yudha sebagai pakar politik kelas I sangat cerdas! Beliau sebagai pakar yang berlaku "netral" (memposisikan). Tapi sebagai orang muda/pengamat tentu beliau sangat cerdas dan jeli dalam melihat peluang peluang yang ada ( kalau tidak cerdas bukan pakar tapi pakan politik/ngiler juga).
Pikiran ini terbesit ketika saya melihat beliau sedikit mengganjal keunggulan Tantowi Yahya dan Ahmad Dhani dalam debat pilpres dengan Nico siahaan dan.., dari kubu Jokowi. Dan Hanta Yudha mengeluarkan pernyataannya yang saya sudah sebutkan diatas. Nampak idola saya ini sudah memberi signal signal kepada kubu Jokowi, atau memang sudah ada salaman sebelumnya dibelakang.
Inti dari uraian saya diatas adalah bahwa pada kubu Jokowi bila dibanding kubu Prabowo, jauh lebih banyak mempunyai kapling kapling kosong untuk diperebutkan. Persaingan, perebutan, optimisme lebih kental dan lebih seru di kubu ini. Apalagi kalau dilihat keberadaan Jokowi disini lebih didorong oleh bujukan bujukan untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, oleh orang orang yang tentunya punya kepentingan namun tidak merasa ada keunggulan untuk suatu pilihan.
Jokowi disini nampak lebih persis sebagai alat pengait dari satu tambang pendakian. Oleh karenanya posisi Jokowi sekarang berada dalam situasi perjudian. Seandainya dia kalah, jatuh, pasti dia akan tertimpah tangga. Tangganya itu apa? tangganya ya para pengusungnya yang ambisius! Setelah kalah apa artinya lagi Jokowi sang idola. Karena dalam hati para pengusungnya, selain "Citra" apalagi yang istimewa yang dipunyai Jokowi. Jokowi akan bangun sendiri, dan pulang tertatih tatih.
Pulang kemana? Kursi gubernur sekarang tentunya terbayang kasar, tidak seempuk kursi istana. Tapi dia masih punya kewajiban yang harus dipenuhinya untuk tetap duduk dikursi itu. Sayangnya apakah kursi itu masih sejuk ditiup pengatur udara ruang gubernuran. Apakah kursi itu kini tidak telah menjadi panas karena bekas bok.. Ahok! dan oleh wajah wajah bertampang panas?
Apakah aku harus dinas diluar saja, blusukkan? Tapi, apakah blusukkanku masih seindah dulu.., setelah dicerca cerca...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H