Keberadaan Ujian Nasional atau yang sering disingkat UAN menjadi polemik dalam dunia pendidikan. Layaknya subsidi BBM yang terus dinikmati rakyat, namun disisi lain menguras APBN.
Bagaimana negara menentukan kriteria layak subsidi? haruskah diukur dengan standar upah atau daya beli masyarakat?
Pada praktiknya, minyak subsidi juga dinikmati oleh mereka yang berkecukupan. Hal ini terjadi karena indikator layak subsidi sering kali berdasarkan asumsi tanpa indikator layak uji.
Nah, bagaimana dunia pendidikan merespon keberadaan UAN sebagai sebuah indikator kelulusan siswa di sekolah? jika UAN ditiadakan, mampukah sekolah menjamin kualitas lulusan?
UAN sebagai Indikator Semu
Di sekolah, kemampuan siswa diukur dari kemampuan memahami pelajaran. Setiap mata pelajaran terdiri dari ragam materi dengan tujuan pembelajaran berbasis kurikulum.Â
Asesmen untuk mengukur kemampuan akhir berwujud ujian. Tolak ukur keberhasilan pencapaian materi ajar ditentukan berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).Â
KKM pada dasarnya berfungsi sebagai salah satu komponen evaluasi pembelajaran. Setiap mata pelajaran memiliki nilai KKM berbeda disesuaikan dengan daya serap siswa, keberadaan tenaga pendidik, fasilitas dan tingkat kesulitan materi ajar.Â
kalau kita membandingkan sekolah di perkotaan dan pedesaan, maka nilai KKM antar keduanya jelas berbeda. Sekolah dengan sarana dan prasarana lengkap tidak etis menetapkan nilai KKM rendah.Â
Lalu, bagaimana dengan sekolah yang kekurangan guru dan fasilitas, berapakah nilai KKM yang layak diperhitungkan?
Realita di lapangan tidak seindah yang diharapkan. Carut marut dunia pendidikan Indonesia tidak hanya pada euforia pergantian kurikulum, tapi juga pada Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK).Â
Pemerintah, kementerian pendidikan, dan sekolah sepatutnya berfungsi layaknya sebuah korporat. Setiap kebijakan yang diterlurkan pemerintah melalui kementerian pendidikan tidak ditujukan untuk sekedar mengubah wajah pendidikan Indonesia, tapi juga menyederhanakan proses asesmen dalam lingkup sekolah.Â
Pemahaman guru akan asesmen kadangkala menimbulkan keraguan. Ambiguitas indikator asesmen di Kurikulum Merdeka juga berdampak pada melengsernya konteks indikator pencapaian di mata pelajaran.
Jika guru berstandar pada indikator yang ditetapkan pemerintah dan tidak memahami konteks asesmen secara holistik, maka sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih penilaian dengan indikator berbeda.
Indikator semu malah mencampakkan nilai kejujuran di sekolah. Bahkan, karena tuntutan KKM berlebih, banyak sekolah yang 'menyulap' angka rapor. Tujuannya agar akreditasi sekolah terjaga dan jumlah murid meningkat.
Artinya, nilai KKM sebuah pelajaran boleh jadi baik bagi sekolah dengan fasilitas baik dan guru yang mumpuni. Sebaliknya menjadi sumber malapetaka bagi sekolah dengan fasilitas seadanya dan guru sekedarnya.
Apakah guru-guru di sekolah mampu membuat soal dengan indikator penilaian yang valid?
Silahkan periksa soal-soal yang dibuat guru-guru sekolah. Sebagai contoh paling kecil, saya beberapa kali menemukan soal-soal sederhana yang dibuat sekedarnya dengan pilihan jawaban yang membingungkan.Â
Kenapa ini bisa terjadi, bahkan berulang kali?
Menurut hipotesa saya dari pengamatan di lapangan, banyak guru yang mampu mengajar tapi belum tentu mengerti tentang cara membuat soal. Akhirnya, mereka sekedar membuat soal untuk formalitas ujian.Â
Tentu tidak semua guru berlaku demikian. Mereka yang memahami kriteria pembuatan soal juga belum tentu dilibatkan sepenuhnya untuk membuat soal ujian.Â
UAN dan Kualitas Lulusan
Apakah sekolah membutuhkan UAN atau negara yang terlalu memaksakan?
Isu Ujian Nasional terangkat ke permukaan dikarenakan pergantian jabatan di kementerian pendidikan. Selain itu, kualitas lulusan semakin memburuk berdasarkan analisa proses rekruitmen kerja.
Dari apa yang muncul ke permukaan, terlihat jelas jika kemampuan dasar berlogika sederhana, berhitung dan bernalar lulusan sekolah menengah atas kian mengkhawatirkan dalam beberapa tahun ke belakang.
Hal ini menunjukkan indikator penilaian sekolah yang mungkin saja menyesatkan. Jika memang seperti itu, adakah korelasi antara UAN dan kualitas lulusan?
BELUM PASTI!
Keberadaan UAN dan kualitas lulusan adalah dua hal berbeda. Walaupun pada dasarnya saling terkait, ini tidak lantas dapat menyimpulkan permasalahan pendidikan di Indonesia.
Tuntutan nilai dari pemerintah dan apa yang diterapkan guru di sekolah bak magnet terbalik. Kualitas guru, jenis kurikulum yang dipakai, dan fasilitas sekolah menentukan arah indikator penilaian.Â
Guru dituntut untuk tidak sekedar memindahkan isi buku ke kepala siswa. Dalam aspek asesmen, guru diharapkan mampu membuat dan menyeleksi soal yang layak untuk diujiankan.Â
Tanpa kemampuan tersebut, sangat mungkin guru mengukur kemampuan siswa dengan nilai validitas rendah. Artinya, siswa boleh jadi telah memahami materi yang diajarkan, tapi salah menjawab soal karena rendahnya mutu soal yang dihasilkan.
Kualitas guru di sebuah sekolah sangat menentukan kualitas lulusan. Materi ajar yang disiapkan guru, nilai KKM yang ditetapkan, dan kualitas soal akan memberi gambaran kualitas murid yang dihasilkan dalam kelas.Â
Keberadaan UAN juga tidak jauh berbeda. Bayangkan bagaimana jika kualitas soal UAN sangat rendah, apa gunanya ujian bagi siswa?
Siapa yang berhak membuat soal-soal UAN, apakah mereka tahu persis kemampuan siswa-siswa di seluruh Indonesia? jika tidak, disinilah awal mula datngnya musibah dalam dunia pendidikan.
Guru diminta mengajar agar nilai KKM tercapai. Lalu, ketika soal UAN tiba, apa yang diujiankan tidak mewaliki apa yang sudah dipelajari siswa selama tiga tahun masa sekolah.
Guru menjadi panik seketika dan mencari cara agar nilai KKM terpenuhi. Murid pintar yang gigih belajar mudah untuk melampaui nilai KKM, tapi tidak bagi sebagian besar siswa yang datang ke sekolah tanpa tujuan akhir.Â
Nilai kejujuran guru mulai dipertaruhkan. Antara membiarkan siswa memperoleh nilai sebagaimana kemampuan asli mereka, atau membiarkan kunci jawaban berpindah dari satu tangan ke tangan lain.Â
Begitulah konsekuensi dari nilai KKM. Idealnya indikator nilai memberi tantangan agar siswa tergerak untuk giat belajar. Sayang beribu sayang, indikator semu malah menyebabkan kualitas lulusan bertambah buruk.Â
Siapa yang kemudian pantas disalahkan, kemampuan guru mengajar atau rendahnya minat belajar siswa di sekolah?
ATAU,Â
Silahkan jawab di kolom komentar (............................)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI