Jika guru berstandar pada indikator yang ditetapkan pemerintah dan tidak memahami konteks asesmen secara holistik, maka sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih penilaian dengan indikator berbeda.
Indikator semu malah mencampakkan nilai kejujuran di sekolah. Bahkan, karena tuntutan KKM berlebih, banyak sekolah yang 'menyulap' angka rapor. Tujuannya agar akreditasi sekolah terjaga dan jumlah murid meningkat.
Artinya, nilai KKM sebuah pelajaran boleh jadi baik bagi sekolah dengan fasilitas baik dan guru yang mumpuni. Sebaliknya menjadi sumber malapetaka bagi sekolah dengan fasilitas seadanya dan guru sekedarnya.
Apakah guru-guru di sekolah mampu membuat soal dengan indikator penilaian yang valid?
Silahkan periksa soal-soal yang dibuat guru-guru sekolah. Sebagai contoh paling kecil, saya beberapa kali menemukan soal-soal sederhana yang dibuat sekedarnya dengan pilihan jawaban yang membingungkan.Â
Kenapa ini bisa terjadi, bahkan berulang kali?
Menurut hipotesa saya dari pengamatan di lapangan, banyak guru yang mampu mengajar tapi belum tentu mengerti tentang cara membuat soal. Akhirnya, mereka sekedar membuat soal untuk formalitas ujian.Â
Tentu tidak semua guru berlaku demikian. Mereka yang memahami kriteria pembuatan soal juga belum tentu dilibatkan sepenuhnya untuk membuat soal ujian.Â
UAN dan Kualitas Lulusan
Apakah sekolah membutuhkan UAN atau negara yang terlalu memaksakan?
Isu Ujian Nasional terangkat ke permukaan dikarenakan pergantian jabatan di kementerian pendidikan. Selain itu, kualitas lulusan semakin memburuk berdasarkan analisa proses rekruitmen kerja.
Dari apa yang muncul ke permukaan, terlihat jelas jika kemampuan dasar berlogika sederhana, berhitung dan bernalar lulusan sekolah menengah atas kian mengkhawatirkan dalam beberapa tahun ke belakang.