30 menit kemudian saya dan keluarga tiba di rumah nenek. Semua masih bertanya-tanya sambil menerka bencana apa yang sedang melanda Aceh. Sore hari kami memutuskan untuk kembali ke kota.
Di tugu Lambaro, mayat-mayat tersusun berjejer. Sebagian tertutupi kain. Sesampainya kami di rumah, aliran listrik padam total. Saya dan beberapa anggota keluarga menaiki motor menuju area laut.
Satu anggota keluarga terjebak di sebuah desa 100 meter dari pesisir laut. 80% bangunan lenyap dan air laut menutupi rumah-rumah penduduk. Manyat-manyat bergelimpangan. Sebagian tersangkut di pagar, sebagian terjebak reruntuhan tembok, dan banyak yang tersangkut di kayu-kayu reruntuhan.
Saya melihatnya langsung ketika melewati kawasan Taman Sari menuju lapangan Blang Padang. Seorang pria kakinya terbelah Terkena benda tajam berjalan pelan. Semua berduka, semua kehilangan anggota keluarga.
Suasana begitu mencekam. Hampir semua orang saling silih berganti mencari anggota keluarga yang hilang. Mengecek setiap manyat yang ditemui. Ribuan manyat tergeletak dimana-mana berhari-hari tanpa identitas.Â
Pesisir barat selatan sulit dijangkau. Jalan terputus, jembatan lenyap, menyebakan pasokan makanan terputus total. Bantuan luar negeri akhirnya datang. Helikopter mulai berdatangan memasok makanan.
Korban-korban selamat didata, anggota keluarga yang hilang bertambah. Semua berduka kehilangan anggota keluarga. Istri kehilangan suami. Anak kehilangan orangtua. Orangtua kehilangan anak dalam genggaman.Â
Kisah tsunami masih berbekas tajam dalam memori. Banyak anggota keluarga yang belum ditemukan. Sebagian ada yang sudah mengikhlaskan. Tidak ada yang tahu pasti apakah mereka sudah meninggal, atau mungkin terpisah dari keluarga dan berada di tempat lain.Â
Wajah kota Banda Aceh kini telah berubah. Bangunan baru, jalanan luas, dan kehidupan yang berbeda. Namun, tsunami 2004 selalu dikenang oleh para korban dan mereka yang terlibat.