Saya ingin menuliskan satu hadih maja yang di bawah ini :
- Bak ie raya bek ta theun ampeh, Bak ie tarek bek ta theun bubee. Bek tameurakan ngon si paleh, Hareuta abeh, geutanyoe malee.
Kalimat di atas mengandung makna "Jangan bersahabat dengan orang jahat, Harta habis kita akan mendapatkan malu". Hadih maja ini adalah tamsilan dari cara menjaring ikan, dimana jenis air dan alat yang digunakan menentukan akan hasil tangkapan.
Begitupun dengan permisalan berteman yang mesti dipilah. Paleh dalam bahasa Aceh bermakna seseorang dengan perilaku buruk, dimana kiasan berteman dengan orang tipe ini berpotensi menghilangkan harta dan mempermalukan teman.
Contoh hadih maja lainnya berbunyi sebagai berikut:
- Bak buet salah beu tamalee, Perintah guree bak get tajaga. Meunyoe ka salah meu-'ah ta lakee, Akhirat teuntee gata bahgia
Maknanya adalah, ketika melakukan kesalahan hendaknya kita malu dan permintaan guru mesti kita turuti. Saat berbuat salah segera meminta maaf, maka kebahagiaan akhirat mudah tercapai.
Kumpulan hadih maja sudah terkubur dan jarang sekali didengar, khususnya di area publik. Padahal nasehat dalam hadih maja kaya akan perumpamaan dan kebijaksanaan.
Abad ke 16 masa kesulthanan Iskandar Muda, Aceh terkenal kaya dengan literasi. Banyak hikayat-hikayat hadir dalam konteks hukum masa kerajaan. Sayangnya sebagian besar dari literasi masa lalu telah tenggelam karena sedikit yang menuliskan kembali.
Koleksi kitab-kitab karya ulama masa silam juga sedikit yang berhasil dialihbahasakan. Bahkan, sangat sedikit penulis dari Aceh yang tertarik untuk menuliskan kembali dalam wujud buku berbeda.Â
Menariknya, Rio berani menulis cerita-cerita orangtua yang sering diceritakan dahulu kala. Sebagian dari apa yang dituliskan dipadukan dengan konteks hari ini dengan alur yang mudah di pahami.Â
Misalnya, kejadian masa konflik yang dihiasi dengan kejadian lucu. Saat pasukan TNI dikirim ribuan ke Aceh, banyak rakyat desa dipukuli aparat karena cara berbahasa yang dianggap 'berani'.
Para prajurit menampar rakyat Aceh bersebab kosakata. Alhasil, rakyat menderita hanya karena salah memilih kosakata untuk menjawab pertanyaan tentara kala itu.