Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Memahami Doom Spending dan Cara Mengatasinya

18 Oktober 2024   21:00 Diperbarui: 19 Oktober 2024   07:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perilaku doom spending | via Liputan6

"Doom spending is basically spending money on short-term, instant enjoyment, rather than saving it for the future, to cope with economic stress and worries."

Doom spending bisa diartikan sebagai sebuah kebiasaan berbelanja dengan tujuan membahagiakan diri dengan cara instan tanpa memikirkan efek jangka panjang. 

Kebiasaan ini dipicu oleh banyaknya informasi dari aktivitas berselancar di internet, terutama akses informasi dari media sosial. Pada dasarnya, dorongan berbelanja ini muncul akibat emosi negatif yang menetap di otak.

Dari hasil sebuah survei lembaga internasional melibatkan 4,342 responden,  36.5 % orang dewasa menganggap diri mereka lebih baik dari pendahulunya. Dalam hal ini, mereka berpendapat hidup mereka sedikit lebih baik dari orangtua mereka sebelumnya.

Namun, 42.8% menganggap kualitas hidup mereka jauh lebih buruk dibanding kehidupan orangtua masa dahulu. Akibatnya, mereka membangun sudut pandang berbeda dengan perilaku berbelanja diluar kontrol.

Emosi buruk bersebab aktivitas online memberi efek pada perilaku para remaja dan orang dewasa. Oleh sebab itu, istilah doom spending melekat pada dua generasi, yaitu gen Z dan milenial.

Uang dan Masa Kecil

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Ken Honda berjudul Happy Money, sikap atau perilaku seseorang berkaitan dengan uang seringkali berawal dari memori masa kecil. 

Cobalah sekilas kembali ke ingatan masa kecil, lalu kenali emosi tentang uang. Apakah kita mengaitkan uang dengan emosi positif atau negatif?

Setiap orang mempunyai sudut pandang berbeda akan uang. Ada yang menganggap uang sumber musibah, ada pula yang meyakininya sebagai sumber keberkahan.

Maknanya adalah, emosi yang kita tempelkan pada uang berfungsi sebagai magnet untuk menarik atau menolaknya. Sekilas mungkin terkesan mustahil, tapi kenyataannya sangat masuk akal. 

Jika seorang ayah menanamkan emosi negatif tentang uang kepada anak, maka besar kemungkinan sang anak tumbuh besar menganggap uang sebagai sumber masalah.

Pun demikian, seorang ayah yang bersikap positif pada anak ketika bersinggungan dengan uang, sikap positif akan dibawa anak ketika berhadapan dengan uang di masa depan.

Pernah tidak anda mendengar seorang ayah berkata pada anaknya "kita ini keluarga miskin, uang kita terbatas"?

Lalu, bagaimana emosi si anak di kemudian hari ? ucapan negatif tentang uang menarik energi negatif dalam tubuh seseorang. Tidak heran, orang dengan ucapan serba kekurangan berada pada kondisi kekurangan pula. Seolah magnet bekerja menolak uang untuk datang menghampiri. 

Bandingkan dengan sebuah keluarga yang bersikap positif. Misalnya, seorang ayah berkata "nak, ambillah uang ini, nanti pasti ada rejeki lain yang datang pada ayah". Bagaimana perasaan sang anak, positif atau negatif?

Semua yang kita ucapkan sejatinya akan kembali pada kita. Pengalaman buruk tentang uang di masa kecil juga dibawa serta sampai dewasa oleh seorang anak. 

Dimana ia bersembunyi? emosi! ya, tepat sekali. Emosi tentang uang menentukan perilaku seseorang dan cara ia memperlakukan uang ketika dewasa.

Otak dan Perilaku Konsumen

Dengan informasi yang mengalir deras ke otak, perilaku seseorang mudah berubah. Aktivitas online memberi rangsangan masif pada otak. Terlebih dengan peran media sosial, raksasa teknologi dengan mudah merubah perilaku calon konsumen. 

Anda boleh saja seketika melihat gambar sepasang sepatu saat menggunakan media sosial, kemudian menekan gambar tersebut untuk melihatnya. Tanpa anda sadari, iklan sepatu akan bermunculan beberapa saat kemudian.

Otak dan informasi|freepik.com
Otak dan informasi|freepik.com

Apakah ini kebetulan? jelas tidak!

Teknologi memungkinkan perusahaan menguasai perilaku konsumen. Informasi aktivitas di media sosial sangatlah berharga bagi pihak tertentu. Hanya dengan beberapa kali mengecek gambar yang muncul di layar, algoritme mudah saja menebak keinginan konsumen. 

Lantas, bagaimana perilaku doom spending terbentuk? 

Waktu yang kita habiskan berselancar di media sosial berakhir pada salah satu emosi. Tentu saja bergantung pada jenis informasi apa yang kita serap sepanjang hari. Emosi ini kadangkala tidak sepenuhnya kita sadari.

Gen Z dan Milenial lebih banyak menyerap informasi dari akses internet. Oleh karenanya, emosi mereka condong negatif. Kecenderungan pada emosi negatif mengarahkan otak untuk melampiaskan pada sesuatu. 

Otak manusia mampu menyimpan milyaran informasi. Namun, asupan informasi yang terlalu banyak juga tidak baik bagi otak. Makanya, ketika otak dibebani dengan informasi berlebih, kemampuan mengambil keputusan yang benar berkurang.

Dengan kata lain, otak mudah dipengaruhi oleh emosi negatif dan membuat keputusan yang tidak tepat. Sebagai bukti, perilaku doom spending jarang terjadi pada generasi baby boomers dan generasi x yang lahir sebelum akses informasi terbuka lebar.

Gen X vs Gen Z|ilustrasi via Katadata.co.id
Gen X vs Gen Z|ilustrasi via Katadata.co.id

Sumber informasi tanpa batas bersarang di otak, lalu sistem saraf merubahnya menjadi sebuah emosi. Jika konsumsi informasi mengarah pada hal berlebihan, emosi negatif mempengarungi pilihan seseorang.

Dalam hal ini, perilaku konsumtif dengan membelanjakan uang tanpa pikir panjang adalah reaksi dari gejolak informasi berlebih. Alhasil, pilihan berbelanja barang bisa saja tidak lagi merujuk pada standar kebutuhan.

Cara Mengatasi Doom Spending

Louise Hill, the chief executive and co-founder of Go Henry, said young people were often influenced to buy things they don't need as they're continually exposed to new products online.

Hindari mengakses informasi produk online secara berlebihan. Kebiasaan belanja terbentuk dari rentetan informasi yang kita konsumsi sehari-hari. Akan lebih baik jika membatasi pemakaian media sosial, terlebih bersangkutan dengan iklan barang.

Otak manusia sungguh luar biasa! informasi yang kita terima setiap detiknya terpisah pada lapisan otak berbeda. Manakala informasi yang sama diakses berulang kali, otak akan menyimpannya sebagai sebuah memori penting.

Untuk itu, batasi informasi ketika menggunakan smartphone. Tidak semua informasi bermanfaat dan relevan bagi otak. Analisa kebiasaan mengakses informasi, apakah terarah atau tanpa arah?

Banyak orang masuk dalam pusaran teknologi dan menjadi korban iklan. Perilaku doom spending menyasar individu yang gagal memanfaatkan otak dengan bijak. Dalam artian, perilaku konsumen dipengaruhi dari akumulasi emosi sepanjang hari.

Cara lain adalah dengan memperbanyak bacaan tentang manajemen finansial. Pelajari cara mengelola uang dan bagaimana memperlakukan uang sebagai pilihan yang tepat.

Pilihan "PayLater" sama bahayanya dengan kartu kredit. Bahkan bisa lebih buruk akibatnya. Kemudahan yang ditawarkan saat berbelanja online dapat membutakan pikiran seseorang dalam sekejap.

Persentase bunga yang besar seringkali tertutupi oleh kemudahan akses pinjaman awal yang ditawarkan. Akibatnya, kelas menengah ke bawah harus menanggung beban bunga yang besar karena perilaku doom spending tanpa batas.

Pengetahuan finansial menjadi kunci utama. Bangun emosi positif tentang uang, lalu terapkan prinsip hidup yang benar berkenaan dengan uang.

Keberadaan uang tidak terbatas, hanya saja kita belum mampu menahan arus uang yang besar. Perilaku seseorang ditentukan oleh bagaimana emosi yang ia bentuk.

Jadilah magnet penarik uang dan buanglah energi negatif menyangkut uang. Kuasai emosi agar perilaku sejalan dengan pikiran.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun