Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Raksasa Tupperware Tumbang di Balik Isu Bahaya Plastik

24 September 2024   19:24 Diperbarui: 24 September 2024   19:38 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tupperware|sumber gambar: tupperware.co.id

Earl Tupper adalah seorang pebisnis asal Amerika. Ia dikenal sebagai penemu Tupperware pada tahun 1946. Produk Tupperware menjadi primadona selama beberapa dekade. Sayangnya, kini tumbang digilas zaman. 

Ada beberapa alasan yang patut menjadi renungan bagi pebisnis. Kejatuhan Tupperware bukan tanpa sebab. Produk besar dan sudah dikenal luas di seluruh dunia bisa tumbang. 

Pengembangan Produk

Satu alasan kenapa Tupperware jatuh ditenggarai karena ketidakmampuan mengembangkan produk dengan variasi warna. Selain itu, dinamika penjualan melalui jalur online telah membuka pasar baru pada produk besutan pebisnis lain. 

Tupperware terlalu lama bersenang-senang dan lengah mengikuti perkembangan zaman. Sama halnya seperti Nokia yang terlambat mengikuti keinginan konsumen seiring berubahnya selera.

Setiap zaman, keinginan dan hasrat pembeli berubah. Ketika informasi semakin mudah merambat dan gaya hidup meningkat, modifikasi produk mutlak dilakukan. 

Selera konsumen tidak selamanya sama. Kadangkala sebuah produk bertahan lama dengan varian yang sama, di lain waktu kebutuhan bergeser sebagaimana berubahnya tren hidup.

Kehadiran produk sejenis Tupperware dengan harga murah berhasil merusak pasar. Mungkin saja Tupperware menganggap sepele karena mereka adalah pemain lama. 

Harga lebih murah dan varian berbeda menyentuh hati konsumen. Mereka berubah haluan dan mulai melirik pemain baru. 

Harga Produksi Naik

Saat Covid-19 melanda dunia, pola hidup ikut berubah. Jutaan orang menetap di rumah untuk kembali memasak. Tupperware kehilangan keseimbangan karena merosotnya angka penjualan.

Pandemi tidak hanya merubah tren hidup, namun juga hampir menenggelamkan kebiasaan berinteraksi. Tupperware ingin bangkit paska pandemi, namun biaya operasional dan bahan baku naik. Kedua hal ini menjadi titik awal keruntuhan Tupperware.

Besar kemungkinan Tupperware gagal melihat perubahan dunia dan tidak mengantisipasi lebih awal. Naiknya harga produksi menjadi dilema bagi perusahaan, antara menaikkan harga produk atau memangkas biaya operasional. Keduanya tentu bukan solusi yang baik. 

Pola Penjualan

90% profit Tupperware berasal dari direct selling. Bahkan, sampai 2023 Tupperware masih mengandalkan pola penjualan face to face dengan melibatkan kaum perempuan. 

Di Amerika, Tupperware terkenal karena peran perempuan sebagai media. Penjualan Tupperware seringnya berbanding lurus dengan budaya pesta dengan limpahan makanan. Kehadiran Tupperware membuat makanan bertahan lama dalam wadah untuk kemudian dikonsumsi keluarga. 

Penjualan Tupperware melalui website atau online jauh lebih kecil dibanding pola direct selling. Alhasil, ketika pola hidup berubah dan dinamika penjualan bergeser, Tupperware terlihat kewalahan.

Padahal, transisi penjualan dari pola lama ke arah digital mudah diprediksi dengan data dan tren hidup. Direct selling memang memiliki banyak kelebihan, diantara lain kontak langsung dengan konsumen dan peragaan produk secara langsung. 

Meskipun demikian, direct selling juga memiliki sisi kekurangan. Pertumbuhan pasar digital sedikit tidak memberi ragam informasi baru bagi konsumen di belahan dunia. 

Pola penjualan interaksi langsung kini bergeser menyasar konsumen melek teknologi. Tidak ketinggalan kaum emak-emak dengan tren gaya hidup up to date. 

Pasar baru paska pandemi memberi ruang tersendiri bagi pelaku bisnis. Merek-merek baru datang dengan segala kelebihan dan alternatif harga yang lebih masuk akal. 

Kenyataan pahit bagi Tupperware menyisakan hutang besar untuk menutupi kerugian. Hutang Tupperware menyentuh angka 1.2 milyar dolar Amerika[sumber:baca disini]. Sebuah angka cukup besar pastinya!

Diakui atau tidak, produk Tupperware berhasil masuk ke alam bawah sadar setiap keluarga. Bahkan, penamaan atau sebutan produk lain yang serupa mengikuti nama Tupperware di benak konsumen.

Isu Plastik dan Kesehatan

Di tengah pesatnya pemakaian wadah makanan dari plastik, isu kesehatan mencuat ke permukaan. Plastik dianggap berbahaya karena mangandung unsur yang membahayakan organ tubuh manusia. 

Firstpost.com mengeluarkan sebuah artikel berita berjudul "The Tupperware party is over: Why popular tiffin and bottle maker has gone bankrupt". Frasa party is over sirna ditelan zaman. Dulunya, Tupperware bangkit dengan tren gaya hidup berwadah pesta warga Amerika. 

Tren gaya hidup pun berubah. Masyarakat lebih gampang mengakses informasi dan menemukan fakta baru tentang penggunaan plastik sebagai wadah makanan. 

Isu kesehatan melebar pada kalangan muda. Tren makanan junk food memperparah keadaan. Penggunaan plastik dianggap tidak relevan dengan pola hidup sehat. Padahal, konsumsi junk food warga Amerika juga memperparah kesehatan remaja. 

Penggunaan Tupperware sebagai wadah makanan berubah total. Hadirnya produk serupa dari Cina mengalahkan tren Tupperware. Kalau bisa murah, ngapain beli yang mahal. Konsumen jauh lebih cerdas memilih dan memilah produk alternatif. 

Ya, inovasi Tupperware kalah cepat dibandingkan pesaing baru. Harga produksi yang lebih murah di luar Amerika membuat ketersediaan bahan baku sulit diakses. Pasar baru pun terbentuk akibat isu plastik dan kesehatan. 

Apakah Tupperware gagal berinovasi? atau, mereka terlambat membaca tren gaya hidup?

Apapun itu, kejayaan Tupperware telah berakhir. Pemain baru lebih cerdas membaca peluang. Pelaku bisnis dituntut cepat menanggapi perilaku konsumen dan keinginan pasar. Jika telat, maka bersiaplah untuk merugi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun