Di Jepang, pejabat mengundurkan diri jika gagal menemukan solusi bagi rakyat. Di Indonesia, sudah salah dan ketahuan korupsi, malah masih mencalonkan diri.
Dimana rasa malu mereka?
Covid 2019 memang menjadi pukulan telak bagi pelaku usaha. Dari sebagian banyak yang berhasil bertahan, mereka kebanyakan bermental baja dan pantang menyerah.Â
Kasus korupsi di Indonesia seperti gelembung busa sabun. Yang besar gampang pecah dan mudah hilang dari pantauan. Disisi lain, ratusan sampai ribuan perilaku korupsi menjadi 'tradisi' berkepanjangan di berbagai institusi negara.
Jadi, hipotesa air galon penyebab kemiskinan terdengar terlalu berlebihan dan mengada-ngada. Anehnya lagi, perilaku buruk pejabat negara dipertahankan dengan mengorbankan rakyat kecil.
Masyarakat kelas menengah Indonesia semakin terdesak. Minum air galon disalahkan, pajak dinaikkan, biaya hidup dipaksakan. Pendapatan negara sebagian kecil kembali ke rakyat, sebagian besar kembali ke perut pejabat dan keluarga mereka.
Ya, begitulah realita negara Indonesia. Hasil panen dihargai tidak sepadan dengan biaya operasional. Petani bertarung membeli pupuk, lalu kembali berjuang menjual dengan harga mencekik leher.Â
Negara seperti tidak berperan. Pejabatnya ada, tapi kebijakan yang ditelurkan tidak memihak rakyat kecil. Wajar saja kelas menengah terjun ke bawah terjungkal bebas.Â
Buruknya lagi, perilaku korupsi merajalela tanpa hukuman jera. Kalau Kim Jong Un diberi mandat satu tahun disini, saya rasa tidak ada pejabat yang mau mencalonkan diri lagi.
Eksekusi mati pejabat lebih cocok dan layak diterapkan. Gagal menaikkan harga gabah, pejabat dieksekusi. Gagal menangani masalah kemiskinan, pejabat dieksekusi mati. Kira-kira begitulah headline koran selama 12 bulan!
Masalah kemiskinan sulit diselesaikan selama koruptor bebas mengerus hasil alam. Pejabat yang bermain bahkan diam dalam kemegahan dan bebas tersenyum.