Sekolah berasrama terbiasa mengarahkan siswa untuk memakai bahasa Inggris. Dibalik itu, mereka tidak terlalu fokus pada benar salahnya (grammar).
Dengan begitu, siswa mendapat porsi fluency lebih besar dibandingkan accuracy. Hal seperti ini bermanfaat untuk melatih percaya diri dan menumbuhkan motivasi pada siswa.
Sayangnya, pada kasus tertentu, pola pembelajaran menjadi tidak efektif karena kurangnya akses accuracy dalam bentuk pemahaman melalui sumber audio atau bacaan yang bervariasi.
Apa yang kemudian terbentuk pada siswa?
Mereka terbiasa memakai pola bahasa yang tidak benar atau tidak tepat. Ada juga yang menempatkan kosakata dalam konteks salah serta pengucapan tidak benar.
Alhasil, output bahasa Inggris pada tipe siswa seperti ini cenderung mengarah ke broken language. Maknanya, mereka bisa berbicara tapi salah secara aturan.
Contoh kedua, ketika sekolah memakai kurikulum bagus seperti Cambridge, siswa mendapat porsi lebih besar pada accuracy.
Tapi ini tidak serta merta bermakna bahwa sekolah dengan kurikulum bagus menelurkan siswa dengan output bahasa Inggris yang baik.
Faktor penentu adalah guru yang mengajarkan bahasa Inggris. Kalau saja guru terlalu dini 'memaksakan' siswa pada accuracy, maka siswa belum tentu mampu memakai apa yang sudah dipelajarinya.
Untuk itu, guru perlu paham tipe murid seperti apa yang mereka ajarkan. Apakah tingkat percaya dirinya baik, kecemasannya rendah, dan motivasi tinggi.
Ketiga indikator ini mesti dipertimbangkan sebelum memutuskan porsi fluency dan accuracy dalam ruang kelas.