Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Subur, Rakyat Meninggal saat Antre Makanan

15 Agustus 2024   16:33 Diperbarui: 15 Agustus 2024   16:50 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi driver ojol antri|sumber: https://otomotif.kompas.com

Satu hari lagi hari kemerdekaan tiba. 79 tahun memperingati hari kebebasan dari tangan penjajah. Indonesia, negara yang subur dan kaya akan hasil alam.

Indonesia sejatinya belum sepenuhnya merdeka. Beberapa hari yang lalu, seorang driver meninggal sedang mengantri makanan yang akan diantarkan ke pelanggan.

Bagaimana mungkin negara yang subur dan berlimpah sumber daya alamnya memperlakukan warganya seperti ini?

Kenyataan yang pahit, namun mesti dicerna oleh akal sehat yang sedang sakit. Petani di Indonesia masih mengantri pupuk untuk mempertahankan tanaman agar sehat di tanah yang subur.

Kelaparan tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua orang semejak kemerdekaan. Di pelosok sana, puluhan atau bahkan ratusan berjuang melewati jembatan di atas sebuah sungai berarus mematikan.

Di gedung-gedung mewah nan megah, para elit mencicipi makanan lezat hasil tanaman petani. Disana pula mereka mencekek rakyat dengan pajak dalam naskah yang bijak.

Katanya, pajak membantu rakyat miskin dan memperbaiki fasilitas umum. Faktanya tidak demikian, rakyat miskin tetap bertahan dengan penghasilan yang tidak menentu.

Saat hasil alam melimpah, harga turun drastis. Petani merugi dan harga anjlok di titik terendah. Kalau pemerintah hadir, seharusnya harga panen bisa stabil dan adil.

Penjajahan asing mungkin sudah lama berakhir. Pahitnya lagi, banyak penjajahan berkamuflase dan datang silih berganti dalam wujud berbeda.

Banyak sawah yang gagal panen, sekolah-sekolah rusak, dan hutan-hutan dirambah. Ekosistem alam rusak puluhan tahun dan dibiarkan begitu saja.

Di provinsi dengan sumber bawah tanah berpotensi, hasil alam digerus perlahan. Habitat alam terganggu, racun-racun kimia menyebar, sumber air berubah menjadi sumber bencana.

Apakah tidak ada yang melihat? jelas banyak!

Pemerhati lingkungan sudah memperingati. Tidak berhenti disana, puluhan video membuka mata yang melihat. Lalu, semua dibantah dengan dalih kekuatan ekonomi dan peluang yang sayang jika diabaikan.

Kelaparan bukan kosakata yang mudah dipahami oleh mereka yang menjajah. Begitulah konsekuensi dari ketamakan yang terus berpindah. Dari satu jabatan ke jabatan lain, berganti untuk menikmati.

Antrian panjang di sebuah kafe kerap terlihat oleh para pejuang keluarga. Mereka menahan lapar untuk mengenyangkan perut yang lain. Negara tidak melihat mereka sebagai rakyat, namun penggerak ekonomi.

Begitulah hidup di negara kaya raya. Semua harus berjuang mati-matian untuk bisa hidup. Tidak perduli dengan segala resiko. Keadilan hanya slogan yang rajin diucapkan oleh politisi yang ingin menjilat kursi-kursi empuk.

Bangunan megah dibangun di tengah isu kelaparan rakyat kelas bawah. Itulah kesejahteraan dalam ketamakan penguasa.

Padahal, ribuan desa membutuhkan perhatian. Sekolah, jembatan, dan fasilitas umum menanti perbaikan. Pejuang ekonomi tertutupi oleh dinding-dinding tinggi yang dibangun dari hasil memeras.

Rakyat menjerit tapi sulit terdengar. Ketika datang waktunya, mereka mengemis dengan sembako dan paket lainnya. Isu kemiskinan menjadi aset jual beli untuk perolehan suara. Kursi-kursi mewah begitu mudah merusak ideologi dan hati.

79 tahun sudah bendera merah putih berkibar di tiang-tiang rumah penduduk. 79 tahun sudah isu kemiskinan berkibar seakan enggan pergi.

Lagi-lagi, tanah yang subur belum mampu menyuburkan kehidupan rakyat Indonesia. Sebaliknya, makanan berlimpah di meja-meja berisikan orang-orang 'hebat'. Mereka menikmati makanan sambil membahas pemberantasan kemiskinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun