Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Remaja dan Pengaruh Gim Online, Bagaimana Peran Orangtua?

15 Agustus 2024   12:16 Diperbarui: 15 Agustus 2024   17:32 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain gim online (Sumber: Shutterstock via KOMPAS.com)

Saya sedang duduk di sebuah warung kopi (warkop) saat menulis ini. Di depan dan di belakang saya duduk sekelompok remaja yang terlelap dengan gim online. Umur mereka kemungkinan masih di bawah 20 tahun. 

Pemandangan seperti ini sering saya temukan di warkop yang menyediakan wifi. Tinggal pesan segelas minuman, lalu mulailah layar smartphone menyerap waktu para remaja ini berjam-jam.

Bagaimana kualitas manajemen waktu para remaja saat ini? mungkinkah mereka hidup tanpa smartphone?

Kalau boleh menilai dan memberi opini, maka jawabannya SULIT. Remaja yang sudah terbiasa dengan gim online sangat sulit melepas ikatan bersama smartphone. Mereka bahkan condong menghabiskan waktu di depan layar HP.

Boleh jadi, dalam sehari 8-10 jam waktu mereka terbuang sia-sia. Umur belasan tahun, namun tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif. 

Diantara mereka malah ada yang memiliki 2-3 smartphone. Bayangkan betapa ruginya mereka karena puluhan jam sirna untuk hal yang tidak membawa dampak positif ketika dewasa.

Padahal, kinerja otak remaja ini sangat produktif untuk menyerap ilmu. 2-3 jam saja mereka mau belajar ilmu baru atau skil yang ingin didalami, dalam tiga tahun mereka sudah mahir.

Realitanya tidak seperti itu. Hampir mayoritas remaja di Indonesia terjebak dalam pusaran smartphone. Mereka seperti budak, sementara smartphone menjadi tuan yang selalu dituruti kemauannya.

Hidup tanpa smartphone sebenarnya mudah saja. Namun dari itu, perlu sebuah visi dan tujuan yang jelas. Lebih jelasnya tujuan hidup jauh kedepan dengan visi yang ingin dicapai.

Kenapa para remaja melampiaskan waktunya dengan smartphone?

Lihatlah lingkungan dimana mereka tinggal. Perhatikan kebiasaan orang tua mereka, lantas anda akan menemukan sebuah jawaban pasti.

Para remaja yang terbiasa akrab bersama smartphone umumnya dibesarkan tanpa tujuan hidup. Minimnya contoh dari dalam rumah membuat hidup mereka tidak terarah.

Jangan tanyakan kepada mereka apa itu manajemen waktu? kemungkinan besar orang tua mereka tidak memperlihatkan cara menggunakan waktu dengan tepat.

Kebiasaan bangun tidur telat yang selalu ditolerir, waktu bermain tanpa batas, dan menghabiskan waktu tanpa rencana. Inilah awal mula mereka mencontoh dan kemudian menganggap sebagai sebagai standar hidup yang benar.

Adakah para remaja memahami value dalam hidup?

Jika mereka diajarkan hidup dengan nilai (value), tentu mereka tidak terjebak dalam lingkungan toxic. Duduk berjam-jam bersama teman, menghabiskan waktu bermain gim online, lalu pulang ke rumah untuk sekedar makan dan istirahat?

Kemana orang tua mereka? 

Saya sulit memahami bagaimana orang tua layak mentolerir anak-anak yang menyia-nyiakan waktu. Padahal, orang tua adalah gerbang pertama anak belajar manajemen waktu yang baik.

Tentu dengan perilaku dan contoh tauladan dari seorang ayah dan ibu. Atau mungkin fungsi rumah sebatas tempat berteduh dan istirahat semata. Alangkah menyedihkan jika konsepnya seperti ini.

Anak-anak dan remaja sepantasnya hidup tanpa smartphone. Mereka harus diajarkan konsep hidup yang benar, bukan membiasakan segala sesuatu secara instan.

Kalau sejak dua tahun sudah terbiasa dengan smartphone, bagaimana kualitas waktu mereka di kemudian hari?

Di ruang kelas, saya melihat betapa melekatnya remaja dengan smartphone mereka. Bahkan, mereka datang ke dalam kelas sama sekali tidak mencatat pelajaran dan memilih untuk memotret catatan guru di papan tulis. 

Konsentrasi dan fokus para remaja sekarang semakin memburuk. Media sosial dan gim online telah 'menodai' otak mereka. Kemampuan bernalar menurun, interaksi sosial berkurang, dan yang lebih buruk lagi, rasa percaya diri berkurang.

Kesalahan utama ada pada orang tua. Jika orang tua paham, mereka tidak akan menukar perkembangan otak anak dengan smartphone. Alasan sayang dan kasihan hanya pembenaran yang membodohkan. 

Di beberapa keluarga, seorang ayah menghadiahkan smartphone canggih bagi anak gadisnya. Idenya bagus, agar anak sedari kecil terbiasa dengan teknologi. 

Namun sayang, orang tua tidak mampu mencerna efek penggunaan smartphone bagi kognitif anak. Ketika anak kemudian mengalami speech delay atau lambat bicara, orang tua mencari solusi dengan membawa ke psikiater. 

Alasan sibuk memang sering diutarakan orang tua. Apalagi jika keduanya bekerja dan sulit membersamai anak. Ya, belikan sebuah smartphone, lalu isikan video atau paket internet agar anak mudah 'diatur'.

Bertahun-tahun anak lelap dengan layar smartphone. Secara intelektual, mereka terlihat cerdas dan aktif. Ada yang beberapa bulan fasih berbiacara bahasa Inggris dan bisa berhitung. Orang tua senang dan turut bangga melihat perkembangan anak.

Mereka lupa bahwa ada kecerdasan yang lebih penting untuk diserap anak, yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial. Keduanya tidak didapat dari smartphone.

Lalu, ragam masalah datang belakangan. Anak sulit berkomunikasi dengan orang lain dan condong menarik diri dari pergaulan. Mereka aslinya bukan intovert, tapi magnet smartphone menyebabkan sinyal otak mereka melemah.

Di beberapa kasus, anak-anak seperti ini terlihat pasif dan sulit diajak berdiskusi. Hormon Dopamin yang mengalir deras saat menggunakan smartphone sudah meretas perkembangan kognitif anak. 

Tidak heran, di sekolah remaja boleh jadi terkesan berprestasi, tapi interaksi sosial mereka ternyata begitu rapuh. Jangan tanyakan rasa simpati pada mereka. Uang jajan berkurang sedikit saja, mereka tidak mampu menahan nafsu.

Begitulah akibat penggunaan gadget berlebih. Hormon endorpin diproduksi di luar ambang batas. Regulasi emosi anak-anak remaja terganggu dan fokus belajar menurus signifikan. 

Banyak orang tua tidak menyadari jika hidup tanpa smartphone jauh lebih baik untuk anak. Kecerdasan emosional dan sosial adalah dua modal kesuksesan anak di masa depan.

Jangan menukar masa depan anak dengan smartphone. Ajarkan mereka untuk hidup dengan nilai dan prinsip. Berikan contoh yang baik tentang makna waktu. 

Manajemen waktu dimulai dari pembiasaan kecil di dalam rumah. Diantaranya, bangun lebih awal, membereskan barang milik pribadi, dan menyusun jadwal kegiatan setiap hari.

Sebagai penutup tulisan kali ini, coba renungkan apakah kita sebagai orang tua sudah menfungsikan rumah dengan prinsip yang tepat?

Rumah adalah sekolah pertama dan aset tebaik untuk menanam sebuah visi hidup dalam diri seorang anak. Jika rumah hanya berfungsi sebagai tempat istirahat, apa bedanya dengan sebuah hotel?

Ajarkan anak untuk menghargai waktu. Wariskan kepada mereka prinsip hidup yang benar. Jangan sampai mereka pulang ke rumah hanya untuk mengisi perut yang lapar. Jika demikian, untuk apa harus ke restauran?

Warisan terbaik orang tua untuk anak bukanlah harta berlimpah, melainkan nilai dan prinsip hidup yang benar. Harta sebanyak apapun akan habis, sedangkan nilai hidup boleh jadi terbawa sampai mati. 

***

By: Masykur

Banda Aceh,Kamis 15 Agustus, 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun