Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Alat Kontrasepsi dan Fenomena Open BO di Kalangan Remaja Usia Sekolah

8 Agustus 2024   09:29 Diperbarui: 8 Agustus 2024   09:43 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat kontrasepsi|freepik.com

Penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar menjadi isu bola panas. Kementerian Kesehatan, melalui dr. Mohammad Syahril Sp. P, MPH, menuturkan jika alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, hanya untuk mereka yang sudah menikah.

 

"Namun penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan," kata dr. Syahril di Jakarta (5/8).

 

Peraturan Pemerintah (PP) ini termuat resmi pada nomor 28 Tahun 2024 mengatur layanan kesehatan, termasuk upaya mencegah penyakit. Tujuan penyediaan alat kontrasepsi dimaksudkan untuk mencegah penyebaran penyakit berbahaya pada remaja.

Kalau memang benar sebagaimana penuturan pemerintah, kenapa targetnya adalah remaja?

Fenomena Open BO

Fenomena open BO (booking out/booking online) semakin kentara dewasa ini. Dalam beberapa kasus, remaja putri usia sekolah menjadi pemeran utama.

Kasus demi kasus yang melibatkan pelajar selayaknya diusut tuntas. Apa motif dan dorongan pelajar hingga rela menelantarkan marwah dan harga diri mereka.

Praktik prostitusi jalur halus yang dibungkus istilah Open BO tentu tidak boleh didiamkan. Cepat atau lambat, pergaulan bebas di kalangan remaja mendekati gaya hidup barat.

Latar belakang ekonomi bukanlah pendorong. Gaya hidup dan tren pola hidup membuat remaja keluar dari zona aman untuk menuju zona terlarang.

Alhasil, fenomena Open BO tidak lagi sekedar melekat pada prostitusi sistem konvensional. Fenomena ini menunjukkan betapa pergaulan bebas remaja sudah memasuki fase keblablasan.

Hilangnya rasa malu erat kaitan dengan munculnya fenomena open BO. Remaja putri boleh jadi tidak menempatkan rasa malu sebagai marwah menjaga harga diri.  

Uniknya lagi, fenomena open BO mudah merebak melalui media sosial. Para remaja bisa lebih bebas menutupi kebrobrokan moral di balik akun media sosial.

Ada yang mengaitkan praktik open BO demi menambah uang saku untuk belanja pakaian dan tas. Dengan kata lain, tren dan pola hidup berhasil membeli harga diri seorang remaja putri.

Baru-baru ini di kota Pangkalpinang terjadi razia handphone di kalangan remaja sekolah. Dari hasil penelusuran mendalam, ada indikasi open BO di sekolah yang melibatkan siswi. (sumber: Belitug.tribunnews, 3/8/2024)

Tren Open BO juga menyasar segmen pelajar SMP. Artinya, para mucikari bergerak aktif mencari mangsa seksual di bawah umur. Bahkan, pemuda 17 tahun jadi mucikari Open BO di Bekasi (sumber: detiknews.com, 13/01/2024)

Pelaku Open BO ini besar kemungkinan adalah korban mucikari. Mereka sedari awal tidak mengetahui jika akhirnya ingin dijual. Namun, tawaran pekerjaan dengan uang besar begitu menggiurkan pelajar usia belasan.

Pusaran seks bak arus tajam. Sekali terseret ke dalam, maka selamanya akan sulit keluar dari pusaran. Bukan hanya harga diri sebagai taruhan, tapi nyawa dan nama baik keluarga.

Peran Media Sosial 

Akses media sosial yang begitu bebas bak racun mematikan. Para remaja bisa dengan mudah terkoneksi dengan dunia luar. Akhirnya, di umur belasan mereka sudah mengkosumsi informasi yang belum layak.

Fenomena Open BO tidak serta merta muncul ke permukaan. Apalagi kian menyebar di kalangan remaja usia sekolah menengah. Faktor akses pada smartphone dan koneksi internet membuat filter remaja tidak lagi bekerja.

Jika dulu layanan seks secara konvensional terbatas pada wanita dewasa, kini sudah merambah ke tingkat siswi SMP dan SMA. Metode konvensional seringkali ditenggarai faktor ekonomi dan pilihan hidup.

Yang patut dipertanyakan, kenapa para remaja rela menjual diri melalui media sosial?

Sekolah sebagai tempat transfer ilmu pun tidak mampu membendung fenomena Open BO di kalangan pelajar. Hal ini bukan hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan, tapi juga mempertanyakan kemana peran guru di sekolah.

Fenomena Open BO juga memberi indikasi lemahnya peran orang tua di rumah. Terlebih peran seorang ayah sebagai benteng terkuat anak perempuan.

Apakah hilangnya sosok ayah di rumah membuat anak perempuan kehilangan jati diri?

Peran ayah sebagai sosok penyayang tidak boleh dikesampingkan. Pun demikian, melalui sosok ayah, seorang anak perempuan dapat mewarisi benteng pertahanan akan harga diri dan percaya diri.

Remaja putri sangat rentan terjebak pergaulan bebas. Media sosial bahkan memperburuk keadaan. Filter pergaulan semakin buruk dikarenakan bebasnya anak menjangkau pertemanan.

Dengan tontonan bebas yang kebanyakan tidak mendidik, anak usia sekolah belajar hal negatif tanpa filter. Akibatnya, mereka tergerak mencari tahu dan keblablasan ketika bertindak.

Seharusnya, peran ayah mutlak hadir dalam rumah. Remaja putri perlu dipandu dan dibimbing untuk tahu cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan lawan jenis.

Sangat menyedihkan jika seorang ayah dengan suka rela menfasilitasi perangkat ponsel pintar bagi anak perempuan. Lalu, tanpa bersalah memberi kebebasan untuk berselancar di dunia maya.

Menjaga anak perempuan di zaman sekarang jauh lebih sulit dibandingkan dahulu kala. Akses informasi yang begitu cepat dan masif membuat otak merekam banyak hal dalam waktu singkat.

Maknanya, sirkulasi informasi di otak seperti ombak besar yang menenggelamkan. Jika tidak dibatasi dan diproteksi, bersiaplah untuk tertelan dalam pusaran membahayakan.

Fenomena Open BO di kalangan remaja usia sekolah cukup mengkhawatirkan para orang tua. Di perparah dengan penyediaan alat kontrasepsi secara legal dari pemerintah.

Tinggal menunggu waktu, tren gaya hidup remaja sekolah bukan mustahil mengarah pada tranfer penyakit kelamin.

Walaupun alat kontrasepsi ini berguna untuk mencegah, tapi secara tidak langsung malah mempermudah akses prostitusi halus pada anak usia sekolah.

Jika memang serius mencegah, yang harus dikuatkan adalah peran ayah di rumah dan peran guru di sekolah.

Kebijakan pemerintah di satu sisi membantu mencegah, di sisi lain memperparah moral anak usia sekolah.

Apakah tepat menyediakan jaring untuk nelayan dan disaat bersamaan melarang untuk menangkap ikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun