Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Peran Orang Tua dan Sekolah untuk Melahirkan Generasi Pembaca

30 Juli 2024   17:54 Diperbarui: 30 Juli 2024   18:00 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pustaka sekolah|freepik.com

Saya sering memperhatikan kebiasaan anak-anak di sekolah. Ketika menjemput anak, dua tempat yang paling menarik untuk diobservasi. Pertama, kantin sekolah dan satunya lagi pustaka sekolah.

Kedua tempat ini sama-sama penting. Satu sebagai media mengenyangkan perut, sementara satunya lagi adalah tempat membentuk pola pikir. 

Uniknya, hampir 90% siswa dan siswi di sekolah lebih tertarik mengisi perut ketimbang mengecas isi kepala. Padahal, mengenyangkan perut tidak otomatis membuat mereka belajar lebih baik. 

Daya tarik makanan dan minuman di kantin sekolah memang luar biasa. Siswa mana yang sanggup menahan ketika perut sedang kosong. Apalagi dorongan untuk menghabiskan uang jajan lebih duluan menghantui pikiran sebelum waktu istirahat.

Dari pengamatan sederhana ini, saya mengambil satu kesimpulan. Minat siswa untuk membaca masih sangat kurang di sekolah tingkat dasar/ madrasah ibtidaiyah. 

Peran Orang Tua

Kalau berharap pada sekolah rasanya hampir mustahil anak-anak membangun kebiasaan membaca. Untuk itu, peran orang tua mutlak dibutuhkan setiap anak.

Dari pengalaman saya pribadi, anak baru tergerak untuk membaca jika orang tua terlebih dahulu memperlihatkan kebiasaan membaca. 

Manakala ayah dan ibu mencontohkan aktivitas membaca, maka besar kemungkinan anak akan mewarisi sifat yang sama. Seorang ibu bisa membacakan buku pada anak mulai umur satu bulan. 

Tentunya dengan buku bergambar penuh warna. Anak yang sering dibacakan buku bakal memiliki pembendaharaan kata lebih banyak. Sekedar membacakan buku sebelum tidur atau saat menyusui memberi kesan positif pada anak.

Bagaimana dengan peran ayah?

Seorang ayah bahkan mampu memberi kesan lebih dalam dengan rutin membacakan buku ke anak. Interaksi dan komunikasi ayah bersama anak terbukti membuat jaringan otak terhubung lebih baik. 

Ini berarti aktivitas membaca bersama bukan sekedar menghabiskan waktu, namun berefek positif pada perkembangan otak anak saat kecil.

Seiring waktu, anak terbiasa dengan ritme membaca. Ketertarikan untuk membaca buku terbentuk secara otomatis tanpa harus dipaksakan. 

Setiap rumah berpotensi memiliki satu pustaka. Hanya saja, banyak orang tua yang tidak tergerak untuk membangun pustaka dalam rumah. Padahal, minat membaca muncul dari sebuah ruangan kecil yang dipenuhi buku.

Bayangkan jika anak mulai terasah kemampuan bernalar karena membaca. Bukankah kelak mereka begitu antusias untuk mencari tahu hal-hal yang terbesit dipikiran?

Setiap keluarga punya pilihan. Apakah ingin melahirkan anak yang tertarik membaca atau terbiasa menghabiskan waktu pada hal yang sia-sia.

Semua dimulai dari dalam rumah. Seorang ayah harus memiliki visi jika ingin anak mau membaca. Mulailah dengan membaca buku di depan anak. Semakin sering anak melihat, semakin mudah mereka meniru.

Pustaka Sekolah

Ketika anak sudah terbiasa berinteraksi dengan buku dalam rumah, ruang pustaka lebih menarik ketimbang kantin sekolah. Tapi, sekolah juga perlu membangun ruang pustaka yang mengasikkan. 

Seberapa kuat kita mengenang ruang pustaka saat dulu di sekolah?

Mungkin, jika boleh jujur, ruang pustaka masuk di daftar terakhir kita. Cukup beralasan jika membayangkan sebuah ruangan dengan tumpukan buku tanpa gambar.

Nah, desain pustaka dan tata letak buku, khususnya di sekolah dasar, sangat menentukan minat baca siswa. Bukan bermaksud memberi penilaian buruk pada pustaka sekolah, namun realita di lapangan sulit dibantah.

Banyak pustaka sekolah didesain seadanya. Belum lagi berbicara koleksi buku yang ketinggalan jaman. Rak-rak buku yang membosankan membuat ruang pustaka lebih cocok disebut kamar tidur. 

Hanya siswa dengan minat membaca yang baik mampu bertahan lama disana. Tidak heran jika nama-nama siswa yang rajin ke ruang pustaka mudah diingat dan gampang dihafal. 

Jika saja sekolah memiliki visi ke arah literasi, investasi pada ruang pustaka seharusnya berada di baris pertama. Inisiatif untuk membedah ruang pustaka belum sepenuhnya masuk ke dalam visi sekolah. 

Umumnya sekolah selalu berorientasi pada pengajaran atau perbaikan karakter peserta didik. Ruang pustaka sepertinya lebih layak disebut ruang penyimpanan buku.

Mungkinkah siswa lebih memilih menuju ruang pustaka ?

Jawabannya sangat tergantung pada peran sekolah. Alokasi dana untuk membangun sebuah ruang dengan koleksi buku menarik perlu dipikirkan bersama. 

Kepala sekolah visioner tidak menuggu aggaran dana dari pusat. Banyak cara untuk mengumpulkan sejumlah uang demi sebuah ruangan terbaik di sekolah.

Orang tua dan guru sah-sah saja dilibatkan untuk turut berkontribusi. Misalnya, setiap tahun ajaran baru, setiap calon siswa diwajibkan memberi satu buku. 

Sekolah memutuskan jenis buku apa yang ingin dikoleksi sesuai tingkat literasi anak. Jelas ini membutuhkan cetak biru arah target literasi sebuah sekolah. 

Intinya, gerakan membaca adalah hasil kolaborasi bersama. Ada peran orang tua, guru dan tentunya kepala sekolah visioner. Kita memerlukan sekolah dengan lingkungan terbaik untuk membangun literasi.

Makanya, ruang pustaka harus lebih baik daripada kantin sekolah. Jika kantin diisi makanan lezat, maka ruang pustaka mesti memiliki buku-buku yang jauh lebih 'lezat' untuk dikonsumsi anak.

Uang bisa dicari, tapi minat membaca tidak bisa dibeli. Literasi dibangun dengan sebuah misi, dari dalam rumah sampai ke ruang sekolah.

Generasi membaca tidak muncul seketika. Orang tua mesti memberi contoh baik. Pun demikian, sekolah punya andil besar menelurkan anak-anak pembaca di masa depan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun