Banyak pustaka sekolah didesain seadanya. Belum lagi berbicara koleksi buku yang ketinggalan jaman. Rak-rak buku yang membosankan membuat ruang pustaka lebih cocok disebut kamar tidur.Â
Hanya siswa dengan minat membaca yang baik mampu bertahan lama disana. Tidak heran jika nama-nama siswa yang rajin ke ruang pustaka mudah diingat dan gampang dihafal.Â
Jika saja sekolah memiliki visi ke arah literasi, investasi pada ruang pustaka seharusnya berada di baris pertama. Inisiatif untuk membedah ruang pustaka belum sepenuhnya masuk ke dalam visi sekolah.Â
Umumnya sekolah selalu berorientasi pada pengajaran atau perbaikan karakter peserta didik. Ruang pustaka sepertinya lebih layak disebut ruang penyimpanan buku.
Mungkinkah siswa lebih memilih menuju ruang pustaka ?
Jawabannya sangat tergantung pada peran sekolah. Alokasi dana untuk membangun sebuah ruang dengan koleksi buku menarik perlu dipikirkan bersama.Â
Kepala sekolah visioner tidak menuggu aggaran dana dari pusat. Banyak cara untuk mengumpulkan sejumlah uang demi sebuah ruangan terbaik di sekolah.
Orang tua dan guru sah-sah saja dilibatkan untuk turut berkontribusi. Misalnya, setiap tahun ajaran baru, setiap calon siswa diwajibkan memberi satu buku.Â
Sekolah memutuskan jenis buku apa yang ingin dikoleksi sesuai tingkat literasi anak. Jelas ini membutuhkan cetak biru arah target literasi sebuah sekolah.Â
Intinya, gerakan membaca adalah hasil kolaborasi bersama. Ada peran orang tua, guru dan tentunya kepala sekolah visioner. Kita memerlukan sekolah dengan lingkungan terbaik untuk membangun literasi.
Makanya, ruang pustaka harus lebih baik daripada kantin sekolah. Jika kantin diisi makanan lezat, maka ruang pustaka mesti memiliki buku-buku yang jauh lebih 'lezat' untuk dikonsumsi anak.