Seorang ayah bahkan mampu memberi kesan lebih dalam dengan rutin membacakan buku ke anak. Interaksi dan komunikasi ayah bersama anak terbukti membuat jaringan otak terhubung lebih baik.Â
Ini berarti aktivitas membaca bersama bukan sekedar menghabiskan waktu, namun berefek positif pada perkembangan otak anak saat kecil.
Seiring waktu, anak terbiasa dengan ritme membaca. Ketertarikan untuk membaca buku terbentuk secara otomatis tanpa harus dipaksakan.Â
Setiap rumah berpotensi memiliki satu pustaka. Hanya saja, banyak orang tua yang tidak tergerak untuk membangun pustaka dalam rumah. Padahal, minat membaca muncul dari sebuah ruangan kecil yang dipenuhi buku.
Bayangkan jika anak mulai terasah kemampuan bernalar karena membaca. Bukankah kelak mereka begitu antusias untuk mencari tahu hal-hal yang terbesit dipikiran?
Setiap keluarga punya pilihan. Apakah ingin melahirkan anak yang tertarik membaca atau terbiasa menghabiskan waktu pada hal yang sia-sia.
Semua dimulai dari dalam rumah. Seorang ayah harus memiliki visi jika ingin anak mau membaca. Mulailah dengan membaca buku di depan anak. Semakin sering anak melihat, semakin mudah mereka meniru.
Pustaka Sekolah
Ketika anak sudah terbiasa berinteraksi dengan buku dalam rumah, ruang pustaka lebih menarik ketimbang kantin sekolah. Tapi, sekolah juga perlu membangun ruang pustaka yang mengasikkan.Â
Seberapa kuat kita mengenang ruang pustaka saat dulu di sekolah?
Mungkin, jika boleh jujur, ruang pustaka masuk di daftar terakhir kita. Cukup beralasan jika membayangkan sebuah ruangan dengan tumpukan buku tanpa gambar.
Nah, desain pustaka dan tata letak buku, khususnya di sekolah dasar, sangat menentukan minat baca siswa. Bukan bermaksud memberi penilaian buruk pada pustaka sekolah, namun realita di lapangan sulit dibantah.