Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kegiatan MPLS dan Kecerdasan Emosional Anak Didik Baru

18 Juli 2024   10:13 Diperbarui: 18 Juli 2024   13:11 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah membaca lelucon beberapa dosen di grup WA. sebagian mereka ada yang berujar "berhati-hatilah dengan mahasiswa yang sering dapat nilai C atau D, kelak mereka akan jadi anggota DPRK atau bupati"

Ah, guyonan tersebut banyak benarnya ketika melihat fenomena hari ini. Siswa atau atau mahasiswa yang dulunya dianggap biasa saja bisa lebih 'sukses' ketimbang mereka yang nilainya istimewa. Tentu ini case by case dan tidak 100% akurat. 

Ada juga siswa yang IQ dan EQ-nya bagus, normalnya karena faktor pengasuhan yang baik dalam rumah. Peran guru dan lingkungan positif pun berdampak pada SQ dan AQ. 

EQ membentuk kepribadian yang berkharisma. Jika EQ bagus, maka EQ dan AQ juga akan bagus. Sayangnya, tolak ukur EQ bukanlah kecerdasan, melainkan bagaimana pola asuh positif dalam rumah. 

Orang tua yang memberi kasih sayang kepada anak dan selalu merangkul emosi anak, besar kemungkinan mewariskan anak dengan EQ tinggi. Biasanya, pola asuh yang tertuju pada EQ lebih fokus pada membangun hubungan kedekatan (bonding) dan tidak 'memaksa' anak untuk pintar.

Yang paling mengherankan hari ini, kita menyaksikan betapa orang tua mengejar IQ yang tinggi. Anak-anak sudah dibiasakan untuk bisa membaca, berhitung, dan menguasai bahasa asing di umur belia. Emosi anak dikesampingkan dan kedekatan orang tua dan anak terpisah oleh orang ketiga.

Orang ketiga bisa saja pembantu, asisten rumah tangga, atau sekolah. Makanya, orang tua di Indonesia lebih bangga saat anakya dicap pintar sejak kecil. Sejak umur belia sudah masuk sekolah sejenis daycare, padahal bonding belum sepenuhnya terjalin.

Bukankah emosi anak harus didahulukan?

Banyak anak yang tangki emosinya kosong karena 'dipaksa' belajar oleh orang tua. Sejatinya, mereka membutuhkan kasih sayang yang cukup sebelum kecerdasannya diasah. 

Tidak sedikit penelitian yang membahas tentang hubungan emosi dan kecerdasan. Anak yang emosinya stabil akan mudah memahami pelajaran dan membangun kemampuan berpikir logis. 

Dalam kolom Business Insight, Harvard Business School, dengan judul "WHY EMOTIONAL INTELLIGENCE IS IMPORTANT IN LEADERSHIP, terdapat satu fakta yang dipaparkan. [edisi 3 April, 2019. [Baca disini]

" 71 percent of employers value emotional intelligence more than technical skills when evaluating candidates"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun