Ada banyak cara kita bersyukur, diantaranya dengan melihat ke bawah.
Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri pesta pernikahan seorang teman. Kebetulan lokasi pesta terpaut jarak 220 kilometer dari tempat saya menetap.
Saya memutuskan untuk menyetir bersama keluarga menuju lokasi pesta. Jadilah kami menginap di desa agar tidak terlalu lelah menyetir pulang-pergi.
Suasana pedesaan begitu asri. Pemandangan sawah di sepanjang jalan memberi rasa nyaman. Anak-anak bermain di selokan sambil sailing bergantian melompat menikmati sejuknya air berdekatan dengan persawahan.
Suatu pagi saat hendak menuju sawah, saya berpaspasan dengan pedagang sayur. Mengandalkan motor dan keranjang, pria paruh baya ini berkeliling menawarkan sayuran Dan kebutuhan primer rumah tangga.
Barang bawaan sebagian ia gantung pada kayu yang sudah dipersiapkan. Beberapa lainnya diletakkan dalam keranjang. Jika ada warga yang berminat, ia berhenti dan menawarkan barang dagangannya.
Sekilas mengobservasi, keuntungan yang didapat tidak seberapa. Jarak yang ia tempuh dikalikan biaya bensin memberi gambaran jumlah keuntungan bersih.
Tapi, sapaan dan interaksi dengan pembeli secara langsung tentu mahal harganya. Saya tidak menemukan penjual yang menjemput bola di perkotaan.
Jual beli di desa dan kota jelas berbeda. Pedagang di kota mungkin mengejar target berupa angka keuntungan untuk biaya sewa toko dan lainnya.
Di desa, pedagang keliling tidak membawa kalkulator untuk menilai harga jual. Mereka sailing menawar bersama membeli dengan harga yang sama-sama menyenangkan.
Pertukaran uang antara pembeli Dan pe jual diikuti senyuman keikhlasan. Jumlah yang sedikit tapi komunikasi terjalin erat dengan pembeli.
Adakah kita mensyukuri nikmat kemudahan dalam hidup?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H