Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akankah Level Literasi Indonesia Meningkat di 2030?

30 April 2024   11:36 Diperbarui: 30 April 2024   12:17 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Globaldata memaparkan sebuah data bahwa literasi Indonesia meningkat 0.69% dari 2010-2021. Sebuah fakta peningkatan yang patut disyukuri dan dijadikan refleksi untuk kedepan.

Tingkat literasi antar negara |https://www.oecd.org/
Tingkat literasi antar negara |https://www.oecd.org/

Namun, sebelum kita membahas lebih rinci, mari sekedar melihat perbandingan tingkat literasi antar negara. Level 1 terendah dan level 5 tertinggi.

Jika merujuk pada data di gambar, kita bisa melihat Jepang menduduki peringkat atas dengan level literasi 3-5. Implikasinya, rata-rata penduduk di Jepang memiliki tingkat literasi tinggi.

Indonesia sendiri berada di bawah Chile dan Turki, namun mayoritas berada di level 0-1. Chile memiliki populasi mendekati 20 juta jiwa, jauh lebih kecil dibanding Indonesia dengan populasi 275 juta jiwa. [baca disini]

Sedangkan populasi Turki berada di angka 85 juta jiwa. Jumlah populasi setiap negara sedikit tidak memberi gambaran tingkat literasi penduduknya. 

Indonesia dengan populasi penduduk yang besar seharusnya bisa mendongkrak tingkat literasi ke level teratas. Sayangnya, hal tersebut tidak mudah dilakukan kecuali dengan kebijakan terstruktur.

Populasi Indonesia terpencar di 17 ribu pulau. Menyamakan tingkat literasi di berbagai provinsi jelas tidak mudah dan butuh regulasi serta kebijakan yang berbeda.

Kenapa demikian?

Indonesia kaya akan budaya, bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Letak geografis antar daerah juga berdampak pada ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak merata.

Kawasan kota dan desa di Indonesia masih menghadapi masalah serius dalam hal fasilitas sekolah dan akses pada pendidikan. Akibatnya, jumlah penduduk dengan kemampuan literasi mumpuni masih di bawah rata-rata.

Pun demikian, minat dan motivasi untuk belajar antara masyarakat desa dan kota berbeda jauh. Alhasil, fasilitas sekolah dan sumber daya manusia terbaik menumpuk di kawasan kota. 

Arus urbanisasi tidak terelakkan disebabkan akses kerja yang terbuka lebar di perkotaan. Sementara, area pedesaan umumnya jarang dilirik karena kesempatan berkarir yang minim. 

Kebijakan menentukan arah kemajuan

Segala kebijakan yang dihasilkan pemerintah akan berdampak pada tingkat literasi masyarakat. Makanya, blueprint kebijakan perlu menyesuaikan konteks kedaerahan dan geografis tempat masyarakat berada.

Adapun, bangunan sekolah, pemilihan buku dan fasilitas seperti pustaka haruslah mencerminkan visi dan misi daerah dalam kurun waktu 10-20 tahun kedepan. 

Menyamaratakan kebijakan bukanlah sesuatu yang baik terlebih untuk memajukan pendidikan secara menyeluruh. Konsep kebijakan dan aplikasinya di setiap daerah pasti tidak sama merujuk pada adat istiadat dan kultur setempat.

Kemajuan daerah pun sangat kontekstual dan boleh jadi bervariasi. Daerah daratan tinggi dan kawasan pesisir laut jelas memiliki hasil alam berbeda.

Untuk itu, kebijakan dalam hal kurikulum dan fokus literasi semestinya mengedepankan konteks kekhasan daerah dan sumber alam setempat. 

Mengapa ini perlu dipikirkan?

Jawabannya simpel, karena tingkat kemajuan daerah berawal dari kebijakan yang tepat. Hemat saya, kurikulum tidak harus dipaksakan sama. Standar kurikulum boleh saja dibuat sama, tapi didesain dengan menyelaraskan kultur kebudayaan dan kekayaan alam daerah.

Misalnya, area daratan tinggi dibangun fasilitas pustaka tentang alam, ensiklopedia pepohonan, pengembangan ekosistem alam hijau dan sistem perkebunan terintegrasi.

Masyarakat difasilitasi dengan ilmu pengetahuan yang relevan untuk membangun dan mengembangkan daerah setempat. Kedepannya, arus urbanisasi menurun karena tingkat keilmuan yang dibutuhkan terwakili oleh penduduk.

Laboratorium dibangun, pabrik-pabrik ramah lingkungan dan industri berkelas dikembangkan sehingga daya serap tenaga kerja seimbang dengan sumber daya manusia setempat.

Pun demikian, area pinggiran laut dengan potensi kelautan dan kemaritiman diarahkan untuk belajar hal-hal yang memang sejatinya dibutuhkan pada kawasan setempat.

Jika demikian, kurikulum yang didesain mengikuti konteks kebutuhan daerah dan fasilitas penunjang juga mengarah pada potensi  output kekayaan alam di sekitarnya.

Kebijakan-kebijakan ini berawal dari pusat dan berakhir di daerah. Singkronisasi kurikulum pusat dan daerah tidak hanya berbuah pada literasi, namun juga akselerasi sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya.

Ya, meningkatkan literasi antar provinsi dimulai dengan blueprint kebijakan yang tepat, terarah, dan visioner. Isi kurikulum harus dibedah, dipangkas, dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun