Kawasan kota dan desa di Indonesia masih menghadapi masalah serius dalam hal fasilitas sekolah dan akses pada pendidikan. Akibatnya, jumlah penduduk dengan kemampuan literasi mumpuni masih di bawah rata-rata.
Pun demikian, minat dan motivasi untuk belajar antara masyarakat desa dan kota berbeda jauh. Alhasil, fasilitas sekolah dan sumber daya manusia terbaik menumpuk di kawasan kota.Â
Arus urbanisasi tidak terelakkan disebabkan akses kerja yang terbuka lebar di perkotaan. Sementara, area pedesaan umumnya jarang dilirik karena kesempatan berkarir yang minim.Â
Kebijakan menentukan arah kemajuan
Segala kebijakan yang dihasilkan pemerintah akan berdampak pada tingkat literasi masyarakat. Makanya, blueprint kebijakan perlu menyesuaikan konteks kedaerahan dan geografis tempat masyarakat berada.
Adapun, bangunan sekolah, pemilihan buku dan fasilitas seperti pustaka haruslah mencerminkan visi dan misi daerah dalam kurun waktu 10-20 tahun kedepan.Â
Menyamaratakan kebijakan bukanlah sesuatu yang baik terlebih untuk memajukan pendidikan secara menyeluruh. Konsep kebijakan dan aplikasinya di setiap daerah pasti tidak sama merujuk pada adat istiadat dan kultur setempat.
Kemajuan daerah pun sangat kontekstual dan boleh jadi bervariasi. Daerah daratan tinggi dan kawasan pesisir laut jelas memiliki hasil alam berbeda.
Untuk itu, kebijakan dalam hal kurikulum dan fokus literasi semestinya mengedepankan konteks kekhasan daerah dan sumber alam setempat.Â
Mengapa ini perlu dipikirkan?
Jawabannya simpel, karena tingkat kemajuan daerah berawal dari kebijakan yang tepat. Hemat saya, kurikulum tidak harus dipaksakan sama. Standar kurikulum boleh saja dibuat sama, tapi didesain dengan menyelaraskan kultur kebudayaan dan kekayaan alam daerah.
Misalnya, area daratan tinggi dibangun fasilitas pustaka tentang alam, ensiklopedia pepohonan, pengembangan ekosistem alam hijau dan sistem perkebunan terintegrasi.