Jika memang seragam tidak membawa efek positif pada output pendidikan, kenapa harus dipaksakan?
Sebenarnya, permasalahan seragam sekolah terletak pada kemampuan orang tua didik. Mereka dengan penghasilan menengah ke bawah sangat merasa diberatkan jika harus membayar uang seragam sekolah yang jumlahnya tidak sedikit.
Walaupun pada kenyataannya sekolah negeri tidak diharuskan membayar iuran spp bulanan, tetap saja persyaratan masuk sekolah tahun ajaran baru membutuhkan uang muka di awal.
Sepasang seragam harganya bervariasi, 100-200 ribu. Bayangkan jika ada empat seragam, maka orang tua siswa membutuhkan setidaknya 400 ribu.Â
Tidak semua orang tua merasa berat untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk seragam baru. Beban berat dirasakan oleh orang tua siswa yang pendapatannya tidak menentu dengan katagori menengah ke bawah.Â
Idealnya dengan seragam baru, semangat belajar siswa akan terpacu dan proses belajar mengajar bersatu padu tanpa perbedaan. Bukankah seperti itu?
Ketimpangan Sosial
Perbedaan status, sosial, ekonomi menghasilkan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sekolah mungkin hendak menghilangkan ketimpangan ini dengan menyatukan semua siswa dalam satu jenis seragam.Â
Kendati demikian, ketimpangan sosial ini tetaplah muncul dengan 'seragam' berbeda. Siswa dengan latar belakang sosial dan ekonomi baik akan jelas terwakili dari fasilitas yang melekat padanya.
Sementara siswa tidak beruntung seringkali harus 'bersembunyi' dalam seragam baru. Maknanya, identitas mereka akan dengan mudah ditebak dari yang melekat padanya pula.Â
Gaya hidup siswa berkecukupan terlihat jelas walaupun mereka memakai seragam yang sama. Ketimpangan sosial ini juga membentuk 'kasta' pertemanan di beberapa sekolah, walaupun tidak kasat mata.Â
Jika seragam dipandang sebagai alat untuk menyatukan, sewajarnya perbedaan kelas tidak tercipta. Pun demikian, jika siswa mampu bersatu tanpa seragam, apalah urgensi seragam bagi sebuah sekolah.Â