Hari ini sebagai orang tua murid, saya menghadiri rapat komite sekolah. Dalam rapat yang berlangsung selama lebih kurang dua jam, dipaparkan biaya yang harus dikeluarkan sebagai persyaratan  murid baru tahun ajaran 2024/2025.
Selembar kertas pengumuman dengan rentetan biaya yang terpampang jelas dibagikan ke seluruh orang tua yang. hadir. Ada empat seragam sekolah yang wajib dibeli sekaligus dengan biaya lainnya.
Saat sesi tanya-jawab, seorang wali murid bertanya "apakah boleh menggunakan seragam kakaknya"?
Pertanyaan ini menyita perhatian beberapa wali murid lainnya. Bagi saya, cukup masuk akal. Kenapa harus beli baru jika memang ada seragam kakak atau abang yang mungkin masih layak pakai.Â
Namun, jawabannya tidak dibolehkan walaupun satu sekolah. Alasannya karena motif baju sedikit berbeda dari tahun sebelumnya. Intinya, biaya seragam tetap harus dibayar.Â
Seragam dan Fungsinya
Fungsi seragam sudah jelas, yakni untuk menyamaratakan siswa didik dalam konteks pakaian. Jadi, tidak ada perbedaan antar siswa, mau kaya atau miskin dianggap sama. Harapannya seperti itu!Â
Lantas, sejauh mana seragam berdampak pada output pembelajaran?
Kita tahu bahwa fungsi sekolah adalah sebagai sarana tempat transfer ilmu. Seiring perkembangan jaman, mekanisme sekolah berjalan dengan peraturan yang wajb disepakati dan dijalankan bersama.Â
Salah satu produk dari peraturan adalah seragam sekolah. Sekilas, seragam berfungsi sebagai pemersatu. Dalam konteks pembelajaran tidak ada kaitan antara daya tangkap siswa dan jenis seragam yang digunakan.Â
Maknanya, proses transfer ilmu pada hakikatnya tidak bertumpu pada seragam. Hampir tidak ada hukum kausalitas antara jenis baju yang dipakai di sekolah dan tingkat kemampuan siswa.Â
Perdebatan seragam sekolah tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di belahan negara lainnya isu seragam selalu memicu dua kubu dengan sudut pandang berbeda.Â
Jika memang seragam tidak membawa efek positif pada output pendidikan, kenapa harus dipaksakan?
Sebenarnya, permasalahan seragam sekolah terletak pada kemampuan orang tua didik. Mereka dengan penghasilan menengah ke bawah sangat merasa diberatkan jika harus membayar uang seragam sekolah yang jumlahnya tidak sedikit.
Walaupun pada kenyataannya sekolah negeri tidak diharuskan membayar iuran spp bulanan, tetap saja persyaratan masuk sekolah tahun ajaran baru membutuhkan uang muka di awal.
Sepasang seragam harganya bervariasi, 100-200 ribu. Bayangkan jika ada empat seragam, maka orang tua siswa membutuhkan setidaknya 400 ribu.Â
Tidak semua orang tua merasa berat untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk seragam baru. Beban berat dirasakan oleh orang tua siswa yang pendapatannya tidak menentu dengan katagori menengah ke bawah.Â
Idealnya dengan seragam baru, semangat belajar siswa akan terpacu dan proses belajar mengajar bersatu padu tanpa perbedaan. Bukankah seperti itu?
Ketimpangan Sosial
Perbedaan status, sosial, ekonomi menghasilkan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sekolah mungkin hendak menghilangkan ketimpangan ini dengan menyatukan semua siswa dalam satu jenis seragam.Â
Kendati demikian, ketimpangan sosial ini tetaplah muncul dengan 'seragam' berbeda. Siswa dengan latar belakang sosial dan ekonomi baik akan jelas terwakili dari fasilitas yang melekat padanya.
Sementara siswa tidak beruntung seringkali harus 'bersembunyi' dalam seragam baru. Maknanya, identitas mereka akan dengan mudah ditebak dari yang melekat padanya pula.Â
Gaya hidup siswa berkecukupan terlihat jelas walaupun mereka memakai seragam yang sama. Ketimpangan sosial ini juga membentuk 'kasta' pertemanan di beberapa sekolah, walaupun tidak kasat mata.Â
Jika seragam dipandang sebagai alat untuk menyatukan, sewajarnya perbedaan kelas tidak tercipta. Pun demikian, jika siswa mampu bersatu tanpa seragam, apalah urgensi seragam bagi sebuah sekolah.Â
Tentu ada banyak indikasi dan implikasi dari sebuah seragam. Dengan seragam, siswa mudah dikenal ketika mewakili sekolah, saat berada dalam keramaian, seragam bak senter dalam gelap.
Seragam juga bermakna identitas bagi sekalangan orang tua. Ibarat lebel baju yang menentukan pendapatan seseorang yang kemudian membentuk kasta dalam konteks sosial.
Ketimpangan sosial sulit dihilangkan. Mesti itu dengan seragam sekolah. Menyatukan perbedaan tidak harus dengan satu warna atau pola. Sebagaimana setiap siswa memiliki hak untuk belajar, mereka juga sewajarnya berhak belajar tanpa sebuah 'identitas' yang mungkin saja dipaksakan.
Kembali ke gambar di awal tulisan, tahukah berapa harga seragam sekolah yang dipakai anak-anak Jepang pada gambar tersebut? harganya $46 atau setara 425 ribu/set.
Di Jepang, rata-rata harga seragam berkisar $400 - $590. Silahkan dihitung sendiri. Â
Nah, ada satu yang unik dan boleh jadi pembelajaran buat pemerintah Indonesia. Ada satu provinsi di Jepang bernama Shizuoka yang memberlakukan seragam denagn standar yang sama.Â
Kendati demikian, sekolah tetap mengijinkan  murid baru memakai seragam dari kakak angkatan mereka sebelumnya. Disini kita dapat memahami bahwa, tujuan seragam bukanlah untuk memberatkan tapi meringankan semua siswa.Â
The municipal government set up a committee in fiscal 2021 to study the uniform problems. Since the new uniforms get rid of gender distinctions, they can be reused. Meanwhile, the schools will allow new students to wear the current uniforms handed down from their older graduate siblings. [baca disini]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H