anak saya tidak lewat, kriterianya apa ya
Padahal anak saya masuk zonasi, bisa membaca, hafal hadis, kok ga lulus ya
Anak saya bisa membaca, lancar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tapi ga lulus
Banyak orang tua yang kecewa hari ini setelah melihat hasil pengumuman sekolah tingkat dasar. Pasalnya, anak mereka dinyatakan tidak lulus.
Kekecewaan orang tua cukup berasalan karena mereka menganggap anak-anak mereka bisa membaca dan memenuhi kriteria asesmen. Ada juga yang anaknya sudah cukup mahir bercakap dalam bahasa Inggris.Â
Beberapa orang tua menganggap bahwa asesmen tidak fair dan kemungkinan disusupi orang dalam (ordal). Namun, ada orang tua yang maklum dan berusaha untuk menerima hasil dengan lapang dada.Â
Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menyisakan banyak pertanyaan di benak orang tua. Apa sebenarnya yang menjadi kriteria kelulusan, apakah standarnya bisa berhitung dan mengeja, atau mampu membaca dan menguasai pengetahuan umum.Â
Lantas, bagaimana jika ada anak yang lancar membaca dan menulis, tapi tidak masuk area zonasi. Layak diterima atau masuk pertimbangan sekolah?
Kriteria yang Tumpang Tindih
Standar asesmen penerimaan siswa baru pada Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiah (MI) masih tumpang tindih. Kalau merujuk pada standar Kemendikbud, tertulis bahwa "seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung".Â
Nah, apa saja kriteria lain yang harus dipenuhi calon peserta didik? mari saya lampirkan berdasarkan persyaratan Direktorat Sekolah Dasar.
- kelas 1 prioritaskan usia 7 tahun
- paling rendah 6 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.
- pengecualian syarat usia paling rendah 6 tahun yaitu paling rendah 5 tahun 6 bulan khusus calon peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dan kesiapan psikis yang dibuktikan dengan rekomendasi tertulis dari psikolog profesional/dewan guru Sekolah.
Dari hasil observasi di lapangan, saya melihat proses penerimaan peserta didik baru antar sekolah sedikit berbeda. Menyangkut asesmen yang diberlakukan, secara umum memang kelihatan sama.
Walaupun tes membaca tidak masuk standar asesmen jika merujuk pada Kemendikbud, namun calon peserta didik baru melalui tahapan membaca dan menulis.Â
Ya, lagi-lagi kembali ke mekanisme tes di setiap sekolah. Tes membaca, menulis, dan berhitung masih menjadi landasan berpijak secara garis besar.
Seharusnya, kriteria dari pemerintah wajib menjadi acuan resmi dan dilaksanakan oleh semua sekolah tanpa terkecuali. Jika memang tes membaca, menulis, dan berhitung tidak boleh dilakukan, maka sekolah tidak diperbolehkan melakukan asesmen.
Lantas, apa yang harus dites?
Menurut hemat saya, semua sekolah wajib menerima peserta didik menurut kuota yang sudah diperhitungkan. Masalahnya, ketika yang mendaftar melebihi kuota, bagaimana sistem seleksinya?
Inilah yang harus dipikirkan dan dirumuskan secara terstruktur. Peraturan dari pusat dan daerah haruslah sinkron. Mekanisme tes boleh berbeda, tapi standar yang dijalankan wajib sama.Â
Membludaknya calon peserta didik baru di beberapa sekolah berawal dari status sekolah. Sekolah unggul rama peminat, sementara sekolah tanpa predikat sepi pendaftar.Â
Lalu, muncullah sekat pemisah yang 'mengharuskan' seleksi alam berlaku. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menjadi tolak ukur untuk membatasi siswa sesuai kuota berlaku di setiap sekolah.
Jika demikian, siswa unggul akan terus berpusat pada sekolah-sekolah yang berlebel. Sebaliknya, sisa-sisa hasil seleksi tidak memiliki pilihan. Akhirnya, sekolah biasa-biasa saja akan selamanya menerima murid yang juga berstandar biasa saja.Â
Pola seperti ini tanpa kita sadari terus berjalan dan menyisakan benang kusut dalam dunia pendidikan. Murid-murid berbakat akan berpusat pada sekolah-sekolah katagori unggul atau berlebel.
Sehingga, sekolah di pinggiran kota atau pedesaan tiap tahun kekurangan murid. Imbasnya, jam mengajar guru tidak mencukupi standar yang sudah ditetapkan.Â
Dilema peningkatan kualitas murid sulit diwujudkan manakala kriteria penerimaan dan patokan kelulusan tidak sinkron. Kualitas sekolah juga akan tetap seperti itu, sekolah unggul akan terus unggul.
Sedangkan sekolah tanpa lebel harus lapang dada menerima apa adanya. Kualitas guru pun tidak jauh berbeda. Antara sekolah kota dan desa terpisah oleh predikat dan julukan sekolah.Â
Calon murid berkualitas menumpuk di sekolah berkualitas. Akhirnya, keseimbangan ekosistem sebuah sekolah sulit dipertahankan. Sama halnya seperti universitas yang sudah dikenal luas karena kualitas dan nama yang menarik minat banyak lulusan.Â
Kualitas (Sekolah Dasar) dan Madrasah Ibtidaiah (MI) sejatinya tidak boleh berstandar pada nama. Semua sekolah harus memiliki kualitas yang sama diimbangi oleh kualitas pendidik yang setara.Â
Realitanya tidak demikian!Â
Ketimpangan murid antar sekolah bersebab magnet tarikan sekolah unggul. Orang tua ingin yang terbaik untuk anak, maka pilihan jatuh pada sekolah berkualitas.Â
Tidak heran, jumlah pendaftar sekolah yang berlebel 'unggul', 'model', dan bernomer urut 1,2,3 selalu lebih besar dari jumlah kuota sekolah.Â
Alhasil, kriteria asesmen sedikit bergeser dan standar penilaian tidak lagi akurat. Jelas saja ini tidak mudah bagi sekolah, apalagi guru-guru yang terlibat dalam seleksi penerimaan peserta didik baru.
Imbasnya, orang tua banyak yang berhipotesis jika seleksi penerimaan peserta didik baru tidak lagi fair. Adanya anggapan terlibatnya orang dalam dan titipan orang luar sulit ditepis.Â
Kalaupun sistem zonasi berlaku, bagaimana mekanisme penentuan jarak dan korelasinya dengan asesmen?
Pemerintah pusat dan daerah sepatutnya berembuk untuk menghasilkan satu kriteria yang tidak tumpang tindih. Mekanisme tes dan kriteria tes tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang sudah diputuskan.Â
Ya, sulit memang untuk diberlakukan. Untuk itu, perbaiki kualitas sekolah terlebih dahulu dan hilangkan lebel sekolah unggul. Semua sekolah wajib berstatus sama secara kualitas dan fasilitas, baik di kota atau di desa.
Kualitas guru juga wajib disamaratakan. Jika perlu, setiap sekolah minimal memiliki 10 guru unggul dan program ekstrakurikuler berstandar sama.Â
Cukupkah dananya?
Ya, saya yakin sangat cukup. Kecuali dikorupsi dan dimainkan oleh oknum yang tidak menginginkan kualitas sekolah sama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H