Calon murid berkualitas menumpuk di sekolah berkualitas. Akhirnya, keseimbangan ekosistem sebuah sekolah sulit dipertahankan. Sama halnya seperti universitas yang sudah dikenal luas karena kualitas dan nama yang menarik minat banyak lulusan.Â
Kualitas (Sekolah Dasar) dan Madrasah Ibtidaiah (MI) sejatinya tidak boleh berstandar pada nama. Semua sekolah harus memiliki kualitas yang sama diimbangi oleh kualitas pendidik yang setara.Â
Realitanya tidak demikian!Â
Ketimpangan murid antar sekolah bersebab magnet tarikan sekolah unggul. Orang tua ingin yang terbaik untuk anak, maka pilihan jatuh pada sekolah berkualitas.Â
Tidak heran, jumlah pendaftar sekolah yang berlebel 'unggul', 'model', dan bernomer urut 1,2,3 selalu lebih besar dari jumlah kuota sekolah.Â
Alhasil, kriteria asesmen sedikit bergeser dan standar penilaian tidak lagi akurat. Jelas saja ini tidak mudah bagi sekolah, apalagi guru-guru yang terlibat dalam seleksi penerimaan peserta didik baru.
Imbasnya, orang tua banyak yang berhipotesis jika seleksi penerimaan peserta didik baru tidak lagi fair. Adanya anggapan terlibatnya orang dalam dan titipan orang luar sulit ditepis.Â
Kalaupun sistem zonasi berlaku, bagaimana mekanisme penentuan jarak dan korelasinya dengan asesmen?
Pemerintah pusat dan daerah sepatutnya berembuk untuk menghasilkan satu kriteria yang tidak tumpang tindih. Mekanisme tes dan kriteria tes tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang sudah diputuskan.Â
Ya, sulit memang untuk diberlakukan. Untuk itu, perbaiki kualitas sekolah terlebih dahulu dan hilangkan lebel sekolah unggul. Semua sekolah wajib berstatus sama secara kualitas dan fasilitas, baik di kota atau di desa.
Kualitas guru juga wajib disamaratakan. Jika perlu, setiap sekolah minimal memiliki 10 guru unggul dan program ekstrakurikuler berstandar sama.Â