Seharusnya, kriteria dari pemerintah wajib menjadi acuan resmi dan dilaksanakan oleh semua sekolah tanpa terkecuali. Jika memang tes membaca, menulis, dan berhitung tidak boleh dilakukan, maka sekolah tidak diperbolehkan melakukan asesmen.
Lantas, apa yang harus dites?
Menurut hemat saya, semua sekolah wajib menerima peserta didik menurut kuota yang sudah diperhitungkan. Masalahnya, ketika yang mendaftar melebihi kuota, bagaimana sistem seleksinya?
Inilah yang harus dipikirkan dan dirumuskan secara terstruktur. Peraturan dari pusat dan daerah haruslah sinkron. Mekanisme tes boleh berbeda, tapi standar yang dijalankan wajib sama.Â
Membludaknya calon peserta didik baru di beberapa sekolah berawal dari status sekolah. Sekolah unggul rama peminat, sementara sekolah tanpa predikat sepi pendaftar.Â
Lalu, muncullah sekat pemisah yang 'mengharuskan' seleksi alam berlaku. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menjadi tolak ukur untuk membatasi siswa sesuai kuota berlaku di setiap sekolah.
Jika demikian, siswa unggul akan terus berpusat pada sekolah-sekolah yang berlebel. Sebaliknya, sisa-sisa hasil seleksi tidak memiliki pilihan. Akhirnya, sekolah biasa-biasa saja akan selamanya menerima murid yang juga berstandar biasa saja.Â
Pola seperti ini tanpa kita sadari terus berjalan dan menyisakan benang kusut dalam dunia pendidikan. Murid-murid berbakat akan berpusat pada sekolah-sekolah katagori unggul atau berlebel.
Sehingga, sekolah di pinggiran kota atau pedesaan tiap tahun kekurangan murid. Imbasnya, jam mengajar guru tidak mencukupi standar yang sudah ditetapkan.Â
Dilema peningkatan kualitas murid sulit diwujudkan manakala kriteria penerimaan dan patokan kelulusan tidak sinkron. Kualitas sekolah juga akan tetap seperti itu, sekolah unggul akan terus unggul.
Sedangkan sekolah tanpa lebel harus lapang dada menerima apa adanya. Kualitas guru pun tidak jauh berbeda. Antara sekolah kota dan desa terpisah oleh predikat dan julukan sekolah.Â