Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Di Balik Prestise Calon Dokter Spesialis, Ada Depresi yang Tertutupi

21 April 2024   21:47 Diperbarui: 22 April 2024   18:18 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Calon dokter spesialis depresi. | Sumber: freepik.com

Saya pernah mendapat kesempatan mengajar tiga calon dokter spesialis anak. Jangan membayangkan saya mengajar kelas obat-obatan, yang saya ajar adalah kelas persiapan TOEFL untuk ujian akhir.

Nah, di tulisan kali ini saya mencoba berbagi pengalaman berdasarkan fakta dan realita. Saya pernah bertukar pikiran dengan ketiga calon dokter spesialis yang saya asuh. Jadi, setidaknya saya punya gambaran tentang 'kehidupan' calon dokter spesialis. 

Jam Piket

Hal tersulit ketika mengajar calon dokter spesialis adalah menentukan jam belajar. Ternyata jam piket di rumah sakit yang dibebankan kepada mereka sungguh membuat saya sakit kepala.

Betapa tidak, dari total pertemuan belajar yang sudah disepakati, seringkali harus dirubah atau dibatalkan karena jadwal piket di rumah sakit yang kadangkala berubah tidak menentu.

Jadi, mereka yang ingin belajar tambahan untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris harus benar-benar pandai mencari jam belajar di sela-sela kepadatan.

Uniknya, calon dokter spesialis ini diwajibkan untuk mendapatkan skor TOEFL tertentu untuk bisa melewati ujian. Belum lagi syarat ujian lisan dengan mempresentasikan kasus dalam bahasa Inggris, cukup sudah penderitaan yang dipangku. hehe.

Apakah semua calon dokter spesialis mendapatkan jam piket di rumah sakit? saya tidak tahu pasti soal itu!

Ketiga calon dokter speasialis anak pada kasus ini sengaja mencari jam belajar khusus di waktu malam karena memang mustahil belajar di pagi-sore hari.

Bahkan, di jam malam sekali pun mereka tetap harus waspada jika harus mengikuti ujian yang dijadwalkan atau hal 'penting' lainnya. Sekilas, sangat terlihat raut wajah kelelahan.

Dengan jam belajar yang padat ditambah jam piket merapayap, rasanya sulit untuk fokus belajar bahasa Inggris. Begitulah faktanya! sekeras apapun saya mengajarkan materi, namun tetap saja skor mentok pada angka yang tidak membahagiakan. 

Biaya Melangit

Jangan tanya berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi dokter spesialis. Tidak sedikit pastinya. Untuk mengikuti ujian saja mereka harus keluar kota sesuai lokasi ujian yang sudah ditentukan. 

Kalau masalah biaya per semester, silahkan di googling saja. Setahu saya, biaya ujian akhir calon dokter spesialis itu cukup fantastis. Ada uang ini dan itu yang jumlahnya melangit.

Rata-rata mereka yang memilih menjadi calon dokter spesialis juga bukan berasal dari keluarga miskin. Kalau tidak kaum kelas menengah, ya pasti orang berpenghasilan melangit pula.

Makanya, masalah biaya bagi calon dokter spesialis bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Toh, mereka sudah membayangkan dan menyiapkan dari awal. 

Bagi calon dokter spesialis yang hidup pas-pasan, jelas jumlah biaya ini menyebabkan kepala pusing berkali-kali. Sudah capek belajar, piket di rumah sakit, mikirin cara lunasin biaya kuliah lagi. 

Lantas, kenapa banyak calon dokter spesialis yang depresi?

Tebakan saya boleh jadi karena persyaratan menjadi dokter spesialis yang terlalu tinggi, dibarengi dengan sistem belajar yang 'terlalu memaksa'.

Tidak tertutup kemungkinan ada pola junior-senior, sehingga calon dokter spesialis junior 'tunduk' pada permintaan senior. Kalau sudah begini, ya kembali pada hukum rimba. Siapa yang berkuasa maka bebas bertutur kata.

Faktor 'bullying' dengan konteks junior-senior adalah pola terstruktur yang terbentuk dari cara transfer ilmu kuno. Maknanya, para senior selalu menganggap diri berkuasa atas junior yang dianggap orang baru. 

Pada kenyataannya, beban calon dokter spesialis bertambah karena tuntutan yang tidak masuk daftar mata kuliah yang wajib diselesaikan. 

Tapi, hukum seniorisme boleh jadi sudah masuk satu paket yang mau tidak mau harus dilewati untuk menyelesaikan program spesialis. Tentu saja antara satu spesialis dan spesialis lain memiliki tolak ukur berbeda berkaitan dengan hukum junior-senior.

Apakah depresi erat kaitan dengan tekanan yang harus ditanggung oleh calon dokter spesialis? 

Tekanan hidup setiap orang jelas tidak sama. Ada yang merasa tertekan karena hal-hal biasa, ada juga yang sanggup menahan tekanan sampai ambang batas orang awam. 

Meskipun demikian, jika kasus depresi sudah menjadi tren pada calon dokter spesialis, hal ini tidak boleh dianggap kecil. Tidak tertutup kemungkinan ada gejala tidak sehat pada studi spesialis di Indonesia.

Untuk itu, pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi dan persyaratan menempuh studi spesialis di setiap bidang. Apakah sudah relevan dan sesuai dengan keilmuan yang disyaratkan di lapangan.

Selain itu, pemerintah juga mesti mengeliminasi persyaratan yang seringkali tidak relevan di lapangan. Misalnya, jam piket di rumah sakit bagi calon dokter spesialis ditinjau dari konteks keilmuan dan implikasinya. 

Artinya, antara beban studi dan beban praktik di lapangan haruslah sinkron. Jika tujuan praktik di lapangan hanya untuk belajar cara interaksi dan berkomunikasi dengan pasien, maka harus ada implikasi yang jelas pada tujuan yang diharap.

Namun, manakala calon dokter spesialis berhadapan dengan studi kasus, akan lebih baik jika dokter senior menfasilitasi dan memberi pendampingan secara terukur dan terstruktur. 

Jadi, calon dokter spesialis tidak 'dilepas' sendiri dan diharap belajar dengan metode observasi. Jangan sampai, transaksi ilmu dalam dunia medis tidak mengedepankan kode etik kedokteran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun