Jangan tanya berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi dokter spesialis. Tidak sedikit pastinya. Untuk mengikuti ujian saja mereka harus keluar kota sesuai lokasi ujian yang sudah ditentukan.Â
Kalau masalah biaya per semester, silahkan di googling saja. Setahu saya, biaya ujian akhir calon dokter spesialis itu cukup fantastis. Ada uang ini dan itu yang jumlahnya melangit.
Rata-rata mereka yang memilih menjadi calon dokter spesialis juga bukan berasal dari keluarga miskin. Kalau tidak kaum kelas menengah, ya pasti orang berpenghasilan melangit pula.
Makanya, masalah biaya bagi calon dokter spesialis bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Toh, mereka sudah membayangkan dan menyiapkan dari awal.Â
Bagi calon dokter spesialis yang hidup pas-pasan, jelas jumlah biaya ini menyebabkan kepala pusing berkali-kali. Sudah capek belajar, piket di rumah sakit, mikirin cara lunasin biaya kuliah lagi.Â
Lantas, kenapa banyak calon dokter spesialis yang depresi?
Tebakan saya boleh jadi karena persyaratan menjadi dokter spesialis yang terlalu tinggi, dibarengi dengan sistem belajar yang 'terlalu memaksa'.
Tidak tertutup kemungkinan ada pola junior-senior, sehingga calon dokter spesialis junior 'tunduk' pada permintaan senior. Kalau sudah begini, ya kembali pada hukum rimba. Siapa yang berkuasa maka bebas bertutur kata.
Faktor 'bullying' dengan konteks junior-senior adalah pola terstruktur yang terbentuk dari cara transfer ilmu kuno. Maknanya, para senior selalu menganggap diri berkuasa atas junior yang dianggap orang baru.Â
Pada kenyataannya, beban calon dokter spesialis bertambah karena tuntutan yang tidak masuk daftar mata kuliah yang wajib diselesaikan.Â
Tapi, hukum seniorisme boleh jadi sudah masuk satu paket yang mau tidak mau harus dilewati untuk menyelesaikan program spesialis. Tentu saja antara satu spesialis dan spesialis lain memiliki tolak ukur berbeda berkaitan dengan hukum junior-senior.