Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Di Balik Prestise Calon Dokter Spesialis, Ada Depresi yang Tertutupi

21 April 2024   21:47 Diperbarui: 22 April 2024   18:18 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah depresi erat kaitan dengan tekanan yang harus ditanggung oleh calon dokter spesialis? 

Tekanan hidup setiap orang jelas tidak sama. Ada yang merasa tertekan karena hal-hal biasa, ada juga yang sanggup menahan tekanan sampai ambang batas orang awam. 

Meskipun demikian, jika kasus depresi sudah menjadi tren pada calon dokter spesialis, hal ini tidak boleh dianggap kecil. Tidak tertutup kemungkinan ada gejala tidak sehat pada studi spesialis di Indonesia.

Untuk itu, pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi dan persyaratan menempuh studi spesialis di setiap bidang. Apakah sudah relevan dan sesuai dengan keilmuan yang disyaratkan di lapangan.

Selain itu, pemerintah juga mesti mengeliminasi persyaratan yang seringkali tidak relevan di lapangan. Misalnya, jam piket di rumah sakit bagi calon dokter spesialis ditinjau dari konteks keilmuan dan implikasinya. 

Artinya, antara beban studi dan beban praktik di lapangan haruslah sinkron. Jika tujuan praktik di lapangan hanya untuk belajar cara interaksi dan berkomunikasi dengan pasien, maka harus ada implikasi yang jelas pada tujuan yang diharap.

Namun, manakala calon dokter spesialis berhadapan dengan studi kasus, akan lebih baik jika dokter senior menfasilitasi dan memberi pendampingan secara terukur dan terstruktur. 

Jadi, calon dokter spesialis tidak 'dilepas' sendiri dan diharap belajar dengan metode observasi. Jangan sampai, transaksi ilmu dalam dunia medis tidak mengedepankan kode etik kedokteran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun