Bukankah perkara yang paling ditakutkan oleh seorang muslim adalah rusaknya iman atau meninggal dalam keadaan tidak membawa iman.
Semua kita yang lahir sebagai muslim otomatis membawa iman tanpa harus diikrarkan. Namun, tidak semua muslim otomatis membawa iman ketika meninggalkan alam ini.
Iman itu mahal sekali harganya. Kalau kita tidak mensyukuri nikmat iman, maka kehidupan kita sama sekali tidak bermakna. Ibarat buih di lautan, terlihat banyak akan tetapi mudah sekali disapu air laut.Â
Seorang muslim hendaknya membawa rasa syukur dalam hidupnya. Kehidupan seorang muslim tidak pernah sedetikpun terlepas dari rasa syukur.Â
Dari tertutupnya mata sampai terbuka kembali, begitu banyak nikmat yang luput dari perhatian kita. Contoh kecil, nikmat bernafas ketika sehat. Berapa harganya? seberapa sering kita bersyukur?
Nikmat lidah yang kita gunakan untuk mengecap makanan. Bagaimana rasanya makan tanpa lidah? sehari saja kita sakit dan kehilangan kemampuan mengecap makanan, maka semua terasa hambar. Tidak peduli seberapa mahal makanan yang kita beli.
Ketika berjalan kita sering lupa dengan kedua kaki. Padahal sedikit saja urat saraf terjepit, kemampuan bergerak bisa hilang. Lantas, berapa biaya yang harus kita keluarkan untuk sekedar membetulkan kembali saraf-saraf halus tersebut?
Bukankah semua organ tubuh yang kita miliki adalah nikmat yang patut kita syukuri setiap hari?
Oleh karena itu, hidup seorang muslim selalu senantiasi dalam keadaan bersyukur. Musibah yang Allah titipkan bagi hambanya juga bagian dari nikmat yang wajib disyukuri.Â
Meskipun demikian, kita seringkali sekedar bersyukur dikala senang tapi gelisah ketika ditimpa musibah. Pada kenyataannya, Allah menjadikan musibah untuk menolong hambanya.
Menolong dari kemungkinan rusaknya iman dengan perilaku buruk kita yang tidak kita sadari. Musibah adalah cara Allah memberi kasih sayang kepada hambanya. Dengan bersyukur ketika ditimpa musibah, Allah menaikkan derajat seorang hamba.Â