Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Efek Tontonan dan Perubahan Bahasa pada Remaja

25 Januari 2024   23:06 Diperbarui: 26 Januari 2024   14:32 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesaat setelah tiba di sebuah warung kopi (warkop), dua orang remaja duduk di sebelah saya. Terlihat mereka sedang memegang smartphone dan sesekali berinteraksi dengan teman-temannya. 

Dari bahasa yang digunakan, saya tahu persis jika mereka sedang asyik bermain 'game' secara online. Dari empat meja yang diduduki para remaja ini, setidaknya ada empat orang yang merokok.

Asap yang mengepul cukup menggangu saya yang tidak merokok. Tapi, saya tidak mempermasalahkannya dan tetap berusaha fokus pada pekerjaan.

Nah, ketika saya sedang fokus menyiapkan bahan ajar, telinga saya tertuju pada satu kata yang sering sekali diulang oleh satu remaja yang duduk di sebelah saya. Tepatnya di arah depan.

"anjing"

Itulah kata yang saya dengar berkali-kali. Selama saya duduk disana, tidak kurang 10 kali kata itu diucapkan untuk berkomunikasi dengan temannya. 

Sesekali remaja ini mengganti kata 'anjing' dengan 'anjir'. Kata anjir adalah plesetan dari kata anjing. Ntah apa perkaranya mereka menggunakan kata tersebut. 

Telinga mulai saya terasa panas! ingin menegur, tapi momen tidak tepat. Bisa-bisa panjang urusannya. 

Bahasa dan Remaja

Sebagai seorang peneliti bahasa, saya sudah sangat sering mendengar kata 'anjing' dan 'anjir' digunakan oleh remaja berumur belasan tahun. 

Pemakaian kata 'anjir' seringkali terjadi pada remaja sebaya yang aktif berselancar di sosial media. Kata yang dulunya dianggap tabu untuk diucapkan kini malah tanpa malu dipakai di tempat umum.

Remaja-remaja ini terpengaruh oleh tontonan yang tidak mendidik. Bahasa yang dianggap 'gaul' ini tidak hanya merubah gaya bicara, namun telkah merusak tata bahasa pada ranah sosial.

Menariknya, remaja yang sering menggunakan kedua kata ini adalah mereka yang tidak memahami adab bertutur. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh dua hal.

Pertama, lemahnya peran orang tua dalam rumah untuk mencontohkan tutur kata yang baik. Kedua, mudahnya akses tontonan yang tidak mendidik di berbagai media, seperti Youtube, Instagram, Tik Tok atau Facebook.

Indonesia masuk dalam katagori negara dengan pengguna media sosial terbanyak. Remaja termasuk golongan pengguna terbanyak. Sehingga, akses pada bahasa 'kekinian' lebih sulit difilter.

Dalam konteks bahasa, ada istilah yang disebut language shiftIstilah ini merujuk pada perubahan bahasa dalam suatu komunitas yang mulai mengadopsi bahasa baru dalam komunitasnya.

Sebagai contoh, mereka yang migrasi dari desa ke kota secara tidak sadar melakukan language shift, dimana penggunaan bahasa nasional lebih diutamakan di keluarga daripada bahasa daerah.

Sementara, komunitas yang mempertahankan bahasa daerah disebut dengan istilah language maintenance Dalam hal ini, sebuah komunitas yang minoritas tetap mempertahankan bahasa daerah dalam keluarga atau komunitas masyarakat setempat.

Sebuah artikel berjudul "Language Development of slang in the Younger Generations in The Digital Era" memaparkan data bahwa penggunaan kata-kata tertentu dalam sebuah komunitas erat kaitan dengan sebuah identitas.

Jadi, maraknya penggunaan kata 'anjing' atau 'anjir' seringkali tidak terlepas dari pengaruh identitas para remaja. Dalam konteks sosial, para remaja seakan merasa 'keren' saat menggunakan kedua kata ini walaupun berada di tempat publik. 

Kenapa ini bisa terjadi?

Salah satu penyebabnya adalah lemahnya filter sosial dan hilangnya kontrol sosial pada generasi tua. Jika 10 atau 20 tahun lalu para remaja merasa malu untuk terang-terangan menggunakan kata yang dianggap tabu, keadaan para remaja sekarang sangat berbeda.

Orang tua tidak lagi merisaukan atau setidaknya dengan penuh kesadaran memperbaiki kesalahan pada penggunaan kata yang kurang etis. 

Jika hal ini terus terjadi, maka language shift akan memperburuk pembendaharaan kata para remaja di masa depan. Bukan hanya itu, aspek media sosial juga secara tidak disadari mempengaruhi tatanan sosial kemasyarakatan.

Dalam ilmu Sosiolinguitik, terdapat 7 faktor yang memengaruhi cara seseorang berbicara. Konteks sosial adalah salah satunya, dimana pemilihan kata resmi dan tidak resmi sangat bergantung pada lingkar pertemanan. 

Boleh jadi, para remaja yang rajin menggunakan kata 'anjing' atau 'anjir' menganggap diri diterima pada lingkar pertemanan tempat mereka berkumpul. Sementara, pada komunitas berbeda kedua kata ini dianggap menjijikkan. 

bahasa para remaja|sumber: kalasela.id
bahasa para remaja|sumber: kalasela.id

Penutup

Perubahan pada pemilihan kata oleh remaja di Indonesia sudah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Jika semakin banyak para remaja menggunakan kedua kata di atas, maka bukan mustahil kedepannya kata tersebut dianggap pantas pada ranah sosial.

Peran orang tua untuk mencontohkan bahasa yang layak perlu dikuatkan kembali. Kalau orang tua semakin tidak perduli dengan penggunaan kata-kata baru yang condong negatif, perubahan kosakata di tingkat remaja semakin sulit dibendung. 

Oleh sebab itu, orang tua perlu memperhatikan tontonan anak ketika mereka berselancar di dunia maya. Dengan begitu, kata-kata yang tidak layak atau mengandung makna negatif lebih mudah difilter sebelum menyebar dalam komunitas pertemanan remaja. 

Saya sudah sering sekali mendengar penggunaan dua kata di atas di tempat berbeda. Yang lebih menyedihkan lagi, anak remaja yang sering menggunakan kata-kata ini seakan tidak merasa malu dan lantang mengucapkan di tempat para orang tua.

Hal ini menunjukkan betapa bergeserkan nilai sosial yang dianut oleh masyarakat saat ini. Mungkin hal ini mustahil terjadi pada era 80-90 an dimana masyarakat masih sangat peduli pada aspek sopan santun ketika berbicara di ranah publik.

Lantas, apakah hari ini orang dewasa tidak lagi merasa bertanggung jawab akan buruknya pola komunikasi remaja? atau mungkin masyarakat merasa tidak perlu untuk menegur? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun