Sesaat setelah tiba di sebuah warung kopi (warkop), dua orang remaja duduk di sebelah saya. Terlihat mereka sedang memegang smartphone dan sesekali berinteraksi dengan teman-temannya.
Dari bahasa yang digunakan, saya tahu persis jika mereka sedang asyik bermain 'game' secara online. Dari empat meja yang diduduki para remaja ini, setidaknya ada empat orang yang merokok.
Asap yang mengepul cukup menggangu saya yang tidak merokok. Tapi, saya tidak mempermasalahkannya dan tetap berusaha fokus pada pekerjaan.
Nah, ketika saya sedang fokus menyiapkan bahan ajar, telinga saya tertuju pada satu kata yang sering sekali diulang oleh satu remaja yang duduk di sebelah saya. Tepatnya di arah depan.
"anjing"
Itulah kata yang saya dengar berkali-kali. Selama saya duduk disana, tidak kurang 10 kali kata itu diucapkan untuk berkomunikasi dengan temannya.
Sesekali remaja ini mengganti kata 'anjing' dengan 'anjir'. Kata anjir adalah plesetan dari kata anjing. Ntah apa perkaranya mereka menggunakan kata tersebut.
Telinga mulai saya terasa panas! ingin menegur, tapi momen tidak tepat. Bisa-bisa panjang urusannya.
Bahasa dan Remaja
Sebagai seorang peneliti bahasa, saya sudah sangat sering mendengar kata 'anjing' dan 'anjir' digunakan oleh remaja berumur belasan tahun.
Pemakaian kata 'anjir' seringkali terjadi pada remaja sebaya yang aktif berselancar di sosial media. Kata yang dulunya dianggap tabu untuk diucapkan kini malah tanpa malu dipakai di tempat umum.