Ilustrasi beasiswa mahasiswa aktif.(DOK. PEXELS)
Saat di semester akhir program strata 1, saya berniat untuk melanjutkan S2. Tujuannya adalah karir yang cemerlang. Berbagai beasiswa saya coba dengan modal bahasa Inggris yang pas-pasan.
Pada awalnya, saya mencoba beasiswa Australia dan berhasil menuju tahap wawancara. Nasib baik tidak berpihak pada percobaan pertama. Lalu, saya mencoba mendaftar beasiswa lain langsung ke universitas di Taiwan.
Alhamdulillah saya diterima oleh dua kampus setelah melewati beberapa tahapan, termasuk wawancara langsung dengan profesor melalui Skype.
Setelah mendapatkan Letter of Acceptance, saya mengurus visa ke Jakarta. Di saat yang sama, saya mendapat undangan wawancara untuk program mengajar di Amerika. Ini adalah tahapan penting yang harus saya ikuti untuk diterima.
Karena sudah terlanjur berada di Jakarta, ya saya memilih untuk tetap melanjutkan wawancara walau tidak dalam keadaan siap sepenuhnya.Â
Saya tetap melanjutkan proses visa ke Taiwan dan fokus untuk hadir mengikuti wawancara. Beruntungnya, tiket pesawat ditanggung panitia. Yah, alhamdulillah uang tiket pulang ke daerah sudah aman!
Singkat cerita, proses visa berjalan mulus walau harus susah payah mengurusnya sendiri tanpa agen. Dua minggu menetap di Jakarta di kawasan Kemang membuat saya paham kondisi kemacetan kota besar.
Saya memutuskan untuk pulang setelah semua urusan selesai. Wawancara sudah saya lalui dan proses pengajuan visa berjalan lancar. Apapun hasilnya saya menerima dengan lapang dada.Â
Satu minggu setelah kepulangan ke daerah, hasil wawancara keluar dan saya dinyatakan lulus ke tahap penempatan kampus di Amerika.Â
Saya diharuskan mengikuti satu tahap akhir, yaitu tes TOEFL IBT. Visa sudah di tangan, satu kesempatan baru terbuka di depan mata. Apakah melanjutkan S2, atau ke Amerika untuk mengajar bahasa Indonesia.Â
Pilihan tersulit yang harus dibuat dengan cepat kala itu. Saya memutuskan untuk melanjutkan S2 dan berharap bisa melanjutkan proses beasiswa ke Amerika ketika berada di Taiwan.
Nah, suatu ketika sedang mengikuti perkualiahan, sebuah E-mail datang dan undangan untuk tes TOEFL terpampang jelas. Dalam hati, bisa jadi ini pertanda baik.
Saya membalas E-mail dan memberitahu jika sedang tidak di Indonesia dan kiranya diberi kesempatan untuk ikut TOEFL IBT di luar negeri. E-mail balasan mendarat dan akan dikonfirmasi kemudian hari.Â
Ternyata, beberapa hari kemudian E-mail masuk dan jawabannya, TIDAK DIBOLEHKAN!
Apa boleh buat, saya tidak bisa melanjutkan tahap akhir dan harus mengundurkan diri secara tertulis melalui E-mail. Semua sudah tertulis demikian!
Dengan beasiswa kampus di Taiwan, saya menyelesaikan kuliah tepat waktu. Saya tidak mengandalkan sepeserpun uang negara dikala itu.Â
Beasiswa kampus di beberapa negara memang tersedia. Namun dari itu, butuh usaha untuk mencarinya dan berusaha bersaing bersama ratusan atau bahkan ribuan pelamar dari negara lain.
Di Amerika sendiri, untuk program S3 ada alokasi dana riset yang difasilitasi kampus. Artinya, siapa saja bisa melamar S3 kesana asalkan syarat terpenuhi. Beasiswa full dengan sistem assistantship, yakni mengajar sambil kuliah.
Kalau di Swedia, S3 malah dianggap bekerja dan diberi gaji yang besar. Keluarga boleh dibawa serta walau pada awalnya harus menanggung biaya sendiri.
Uniknya, aturan di Swedia lebih ramah keluarga. Jika suami S3, istri diberikan jatah S2 gratis dan hak fasilitas publik didapat. Seperti gratis biaya transportasi umum dan biaya melahirkan. Suami bahkan boleh cuti kuliah ketika istri melahirkan.Â
Wah, asik bukan?
Saya sempat hendak kuliah di Swedia. Sayangnya, setelah diterima di dua kampus terbaik disana, saya gagal mendapatkan beasiswa dari pemerintah Swedia. Seleksinya ketat sekali dan benar-benar kredibel.Â
Lantas, apakah melanjutkan kuliah S2 atau S3 adalah sebuah kebutuhan atau keharusan? Â
Bagi saya pribadi, melanjutkan S2 atau S3 tanpa sebuah perencanaan dan tujuan yang tepat adalah buang-buang waktu. Kenapa? Karena realita di lapangan memang seperti itu.Â
Kalau di Indonesia, orang tertarik melanjutkan S2 tidak sepenuhnya untuk mendapatkan ilmu. Dorongan utama bisa karena kebutuhan akan karir yang baik.Â
Pada kenyataannya, perbedaan nilai ijazah S2 dan S3 tidaklah signifikan. Coba bandingkan tunjangan mereka yang bekerja di kantoran dengan status S2, paling beda gaji hanya ratusan ribu saja.Â
Berbeda dengan mereka yang berstatus akademisi yang lebih mengandalkan ijazah untuk naik pangkat. Selain itu, akses pada dana hibah penelitian dan lainnya lebih menjanjikan.Â
Jadi, para akademisi yang mentok di S2 mau tidak mau harus melanjutkan S3 untuk masa depan yang cerah. Walaupun kita melihat jumlah lulusan S3 masih belum berhasil mendongkrak kualitas mutu pendidikan.
Jika lulusan S2 dan S3 lebih banyak, apakah akan menjamin perubahan pada mutu atau kualitas pendidikan dalam negeri?
Saya tidak menjamin itu!Â
Bahkan, permasalahan yang harus diluruskan adalah tujuan atau dorongan melanjutkan kuliah. Jadi, buat apa orang disuruh melanjutkan kuliah jika pada kenyataannya tidak jelas tujuan akhir.
Beasiswa dari negara lain banyak sekali. Dengan kemauan kuat dan semangat diri, semua  orang bisa mendapatkan beasiswa dari kampus di luar negeri. Tentu saja dengan pertimbangan usaha dan motivasi tinggi.
Beasiswa dari dalam negeri juga sangat beragam, LPDP salah satunya. Namun, pertanyaan selanjutnya berapa banyak alumni luar negeri yang kemudian menetap dalam negeri untuk berbakti ?
Kalau saja tujuan akhir dari sebuah ijazah tidak dipetakan dengan visi yang jelas, maka korelasi antara jumlah tamatan S2 dan S3 dan perbaikan kualitas dalam negeri tetap negatif.
Intinya, buatkan dulu skema ahli yang dibutuhkan dalam negeri 10-20 tahun kedepan, lalu seleksi anak bangsa untuk melanjutkan kuliah pada jurusan yang memang dibutuhkan negeri.Â
Ketika mereka selesai, ajak mereka pulang dan beri tempat untuk menumpahkan ilmu yang sudah didapat dengan wadah yang besar.Â
Tanpa sebuah visi yang jelas di awal, sebanyak apapun lulusan S2 dan S3 yang pulang kembali ke dalam negeri hanya sekedar menaikkan angka namun minim secara makna.Â
Itu menurut hemat saya, kalau menurut boros saya tidak bisa menganalisa lebih dalam.Â
Sekian! ^-^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H