Uniknya, aturan di Swedia lebih ramah keluarga. Jika suami S3, istri diberikan jatah S2 gratis dan hak fasilitas publik didapat. Seperti gratis biaya transportasi umum dan biaya melahirkan. Suami bahkan boleh cuti kuliah ketika istri melahirkan.Â
Wah, asik bukan?
Saya sempat hendak kuliah di Swedia. Sayangnya, setelah diterima di dua kampus terbaik disana, saya gagal mendapatkan beasiswa dari pemerintah Swedia. Seleksinya ketat sekali dan benar-benar kredibel.Â
Lantas, apakah melanjutkan kuliah S2 atau S3 adalah sebuah kebutuhan atau keharusan? Â
Bagi saya pribadi, melanjutkan S2 atau S3 tanpa sebuah perencanaan dan tujuan yang tepat adalah buang-buang waktu. Kenapa? Karena realita di lapangan memang seperti itu.Â
Kalau di Indonesia, orang tertarik melanjutkan S2 tidak sepenuhnya untuk mendapatkan ilmu. Dorongan utama bisa karena kebutuhan akan karir yang baik.Â
Pada kenyataannya, perbedaan nilai ijazah S2 dan S3 tidaklah signifikan. Coba bandingkan tunjangan mereka yang bekerja di kantoran dengan status S2, paling beda gaji hanya ratusan ribu saja.Â
Berbeda dengan mereka yang berstatus akademisi yang lebih mengandalkan ijazah untuk naik pangkat. Selain itu, akses pada dana hibah penelitian dan lainnya lebih menjanjikan.Â
Jadi, para akademisi yang mentok di S2 mau tidak mau harus melanjutkan S3 untuk masa depan yang cerah. Walaupun kita melihat jumlah lulusan S3 masih belum berhasil mendongkrak kualitas mutu pendidikan.
Jika lulusan S2 dan S3 lebih banyak, apakah akan menjamin perubahan pada mutu atau kualitas pendidikan dalam negeri?
Saya tidak menjamin itu!Â
Bahkan, permasalahan yang harus diluruskan adalah tujuan atau dorongan melanjutkan kuliah. Jadi, buat apa orang disuruh melanjutkan kuliah jika pada kenyataannya tidak jelas tujuan akhir.