Manusia perahu adalah julukan bagi Rohingya. Mereka datang silih berganti ke daratan Aceh berharap akan hidup yang lebih pasti setelah terombang ambing dalam lautan.Â
Arus informasi yang kian tajam membuat ragam informasi semakin sulit difilter. Masyarakat yang dulunya menerima kedatangan Rohingya dengan tangan terbuka kini mulai terlihat enggan utuk berempati.Â
Jelas ini bukan tanpa alasan. Ketidaktegasan sikap pemerintah memperburuk keadaan.Â
Di satu sisi masyarakat perlu mengedepankan rasa kemanusiaan, namun di sisi lain tanggung jawab akan arus pegungsi Rohingnya belum jelas berada di tangan siapa.
Sampai saat ini, pegungsi Rohingnya terus berdatangan ke perairan Aceh. Jumlahnya semakin banyak dan diperlukan penanganan yang terstruktur. Pemerintah pusat belum terlihat tegas untuk menangani isu ini.
Baru-baru ini beberapa kelompok mahasiswa menggalang masa untuk "mengusir" manusia perahu. Tindakan mahasiswa ini banyak di kecam karena tidak spenuhnya mewakili suara masyarakat Aceh.Â
Ada beberapa alasan utama masyarakat menolak kedatangan Rohingnya, sikap pemerintah pusat yang terkesan lepas tangan boleh jadi alasan mendasar terjadinya penolakan secara masif.
Hal ni sangat wajar dipahami terlebih beban akan tempat penampungan pengungsi Rohingnya secara tidak langsung pada masyarakat setempat. Lantas, apa peran negara ?
Di beberapa tempat masyarakat telah bahu membahu membantu pengungsi Rohingya dengan menyediakan makanan serta minuman. Meskipun demikian, arus kedatangan manusia perahu ke perairan Aceh seakan tak ada hentinya.Â
Sejak November lalu, jumlah pengungsi Rohingya telah mencapai angka 1.500. Tidak ada yang bisa memprediksi berapa ribu lagi yang akan tiba jika pemerintah tidak bertindak tegas.
Banyak kalangan yang bertanya-tanya kenapa kapal-kapal asing begitu mudahnya masuk ke peraian Indonesia, khususnya di berbagai kawasan perairan Aceh.Â
Apakah tidak ada pengawalan di perbatasan laut atau ada unsur kesengajaan disana?
UNHCR selaku organisasi yang bertanggung jawab akan arus imigran asing memiliki peran untuk menjembatani konflik manusia perahu dan masyarakat lokal.Â
Banyak informasi yang beredar akan perilaku negatif Rohingya di media sosial. Diantaranya ada yang benar dan tentunya banyak yang harus difilter.Â
Menfilter informasi yang tidak benar di tengah arus informasi yang begitu masif tidaklah mudah. Semua orang bisa dengan mudah mempublikasi video ke berbagai macam media sosial dengan polesan pesan yang tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan di lapangan.Â
Makanya, memilah informasi yang benar layaknya menjaring ikan di laut. Kadangkala ada "hiu" besar yang siap mengancam kapan saja.Â
Masyarakat sulit menentukan sikap di tengah kekhawatiran akan keamanan dan kenyamanan. Kehadiran pemerintah pusat semestinya berwujud dalam kebijakan yang tidak tumpang tindih.
Relokasi penampungan sementara dan status pengungsi Rohingya sudah sewajarnya dipikirkan secara struktural. Pemerintah perlu bertidak tegas dengan sikap dan arahan yang jelas agar masyarakat tahu harus bersikap.
Penolakan akan arus pengungsi Rohingya oleh masyarakat boleh jadi menjadi gambaran akan ketidakmampuan pemerintah dalam memproteksi keamanan laut Indonesia.
Jika gelombang manusia perahu terus datang sementara kebijakan pemerintah tidak memperlihatkan kejelasan, siapa yang kemudian menanggung beban moral kemanusiaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H