Dari kejauhan saya melihat sosok seorang teman lama yang sedang duduk menikmati sepotong buah segar. Segera saya menghentikan motor dan mendekatinya untuk menjabat tangan.
Sebagai seorang guru SMA negeri, ia pasti tahu betul permasalahan di sekolah. Seketika itu saya terpancing untuk memahami dilema seorang guru yang umurnya masih sangat muda. Siapa tahu ada hal baru yang dapat menambah pengetahuan saya mengenai dunia pengajaran.
Arah pertanyaan yang mulanya saya tujukan untuk mengeksplorasi proses pembelajaran, akhirnya berhulu pada ragam pelatihan dalam dunia pendidikan dan dilema guru di dalam kelas ketika menyelaraskan teori dan praktik.
Teori dan PraktikÂ
Para calon guru sudah dibekali teori-teori tentang pendidikan ketika berada di bangku perkuliahan. Namun, teori-teori itu tidak selamanya aplikatif pada konteks yang beragam.
Misalnya, guru diajarkan untuk membawa teknologi ke dalam kelas agar siswa bisa belajar lebih mudah dan asik. Tentu saja secara teori ini benar, tapi belum tentu semua sekolah bisa menerapkan ini.
Contoh dari teman saya ini adalah pengalaman satu dari ribuan atau bahkan ratusan ribu guru lainnya di Indonesia. Kebanyakan apa yang diajarkan di kuliah cocok untuk sekolah dengan fasilitas yang memadai di kota-kota.
Sebagai contoh kecil saja. Guru diminta untuk bisa mengajar dengan mengaplikasikan ragam metode yang dapat membantu siswa untuk cepat paham. Ketika guru sudah menyiapkan bahan berupa power point atau Quizes, masalah muncul.Â
Apa itu? Infocus atau projector tidak tersedia di sekolah atau hanya tersedia satu untuk dipakai 10 guru yang mengajar. Lalu, bahan yang sudah dibuat guru hanya bisa dipakai saat beruntung tepat dikala projector tersedia.
Bahan yang sudah disiapkan pada aplikasi Quizes bisa bernasib sama saat kebijakan sekolah bersebrangan dengan teori pendidikan. Contohnya? ketika murid dilarang membawa HP ke dalam kelas, bagaimana mereka bisa terlibat dalam pembelajaran yang memang membutuhkan akses HP.
Jadi, disatu sisi guru diharap untuk lebih kreatif mendesain bahan pembelajaran, disisi lain peraturan sekolah boleh jadi tidak sinkron dengan tujuan pendidikan.
Kondisi serupa juga mungkin terjadi pada sistem Project-based dimana siswa disatukan dalam satu grup kemudian bekerjasama. Pada kenyataannya, siswa yang aktif hanya mereka yang pandai saja.
Sedangkan siswa pemalu atau pendiam tidak banyak belajar. Jadinya, siswa pandai menjadi korban karena siswa yang lainnya hanya menumpang nama saja dalam grup. Ketika diberikan nilai, siswa yang tidak aktif jelas merasa diuntungkan.
Secara teori, sistem belajar dengan project-based itu memang berguna. Murid bisa belajar bersama dan memupuk critical thinking. Tapi ketika praktik di lapangan, banyak indikator lain yang juga perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Tidak sampai disini saja, banyak sekolah yang harus menurunkan standar nilai untuk menutupi aib karena nilai siswa tidak mencapai target. Artinya, kebebasan untuk menjalankan pendidikan pada sekolah terkadang membawa dampak negatif.
Sekolah juga kadangkala tertekan dengan nilai-nilai yang harus dicapai. Kepala sekolah bisa merasa malu ketika banyak siswa tidak mencapai nilai minimum. Atau bahkan ada yang takut dipecat atau dimutasi ke sekolah pelosok.
Intinya, sinkronisasi antara teori, jenis pelatihan dan keberagaman kondisi guru dan siswa di lapangan jelas diperlukan. Buat apa pelatihan ini dan itu menghabiskan anggaran yang tidak sedikit hanya mendapatkan sertifikat untuk naik pangkat.
Teori pendidikan versi barat tidak sepenuhnya bisa diterapkan dengan kompleksitas permasalahan pendidikan di berbagai provinsi di Indonesia. Walaupun secara umum bermanfaat, tapi belum tentu aplikatif di semua sekolah.
Guru vs Orang tua
Melibatkan orang tua dalam pendidikan jelas sangat bermanfaat. Lagi-lagi, secara teori sangat baik, tapi apakah bisa diterapkan di semua sekolah di Di indonesia?
Coba perhatikan latar belakang siswa di sekolah-sekolah di kota dan desa. Berapa % orang tua yang mau aktif datang ke sekolah untuk ikut rapat jika diadakan di sekolah?
Melibatkan orang tua dalam pendidikan harus disertakan dengan blueprint yang jelas. Misalnya, jenis keterlibatan apa, berapa banyak waktu yang perlu disiapkan dan objektif dari keterlibatan orang tua.Â
Dalam konteks sekolah di kota, para orang tua mungkin saja sibuk bekerja. kegiatan sejenis rapat, penampilan siswa atau agenda sekolah lainnya perlu dipetakan untuk menyesuaikan dengan latar belakang orang tua murid di sekolah.
Kadangkala, orang tua ingin hadir tapi tidak memungkinkan, atau seringkali ketika orang tua hadir ke sekolah, desain aktifitas sekolah untuk melibatkan orang tua tidak efektif. Maksudnya, pendekatan sekolah untuk melibatkan orang tua haruslah secara case by case. Misalnya, orang tua yang tidak memahami dunia pendidikan diberi pemahaman terlebih dahulu baru diajak kerjasama.Â
Ekpektasi atau tujuan keterlibatan orang tua juga perlu disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Kita semua paham bahwa latar belakang orang tua murid beragam, baik secara jenjang pendidikan atau pendapatan.Â
Oleh karenanya, desain cara, pola, atau mekanisme keterlibatan orang tua hendaknya juga tidak sama. Tidak mungkin berharap semua orang tua mau terlibat dengan mekanisme yang sama.
Sekolah terlebih dahulu harus memetakan latar belakang siswa dan orang tua serta dari mana mereka berasal. Selain itu, permasalahan dalam keluarga setidaknya mesti dianalisa untuk memberi gambaran kondisi setiap murid.Â
Masalah pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Orang tua yang tidak mau berkolaborasi belum tentu tidak mau terlibat dalam pendidikan anak mereka.Â
Dalam banyak kasus, orang tua tidak memiliki pilihan karena harus mencari uang demi pendidikan anak. Saat tiba di rumah, mereka mungkin sudah lelah seharian mencari uang.Â
Jika orang tua dituntut atau diharapkan terlibat untuk mengecek pekerjaan rumah anak mereka setelah berjibaku dengan pekerjaan di luar rumah, tentu ini sesuatu yang efektif dalam rangka melibatkan orang tua.
Pun demikian, latar belakang orang tua juga menjadi tolak ukur semana mereka sanggup terlibat membantu anak. Jika orang tua memiliki pengetahuan cukup, membantu anak mengerjakan tugas jelas jauh lebih mudah.
Bagaimana dengan orang tua yang tidak pernah mengecap pendidikan sama sekali?
Apakah lebih baik diajak berkolaborasi dengan guru untuk menghadiri rapat atau adakah mekanisme keterlibatan lain yang efektif guna memperlancar roda pendidikan anak di sekolah?
Dengan kata lain, sistem kolaborasi guru dan orang tua ada baiknya didesain berbeda dengan latar belakang orang tua murid. Jika orang tua dianggap kompeten untuk memberi pendapat, maka dihadirkan dalam rapat boleh jadi memberi masukan positif untuk guru.
Sebaliknya, untuk orang tua yang tidak bisa aktif terlibat melalui pertemuan, ada alternatif lain berupa kolaborasi opini dalam satu wadah berupa website untuk menampung ide atau hal lain yang membantu proses belajar mengajar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H