Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Orangtua Biang Sedentary Lifestyle bagi Anak

24 September 2023   18:37 Diperbarui: 24 September 2023   22:25 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sedentary lifestyle| Dok freepik.com

A sedentary lifestyle is when someone spends six or more hours per day sitting or lying down, and they lack significant physical movement in their daily life. [cited, source: click here]

Disadari atau tidak, pola hidup saat ini sangat merugikan tubuh. Istilah sedentary lifestyle muncul ke permukaan seiring berkurangnya pergerakan manusia sehari-hari. 

Walaupun pada sejarahnya, sedentary lifestyle pertama kali digunakan ketika pola hidup nomaden bergeser karena kemampuan bercocok tanam.

Khususnya pada konteks remaja dan anak muda, pola hidup malas gerak yang identik dengan panggilan mager sudah menjadi sebuah tren. Terlebih dengan ragam tontotan dalam genggaman smartphone, sedentary lifestyle bak racun manis. 

Kenapa hari ini banyak anak muda yang begitu mudahnya terjangkiti penyakit?

Ada satu jawaban pasti, yaitu pola hidup. Gaya hidup dengan asupan makanan serta minuman tidak sehat dan kurangnya pergerakan menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk menjaga keseimbangan.

Sebut saja penyakit seperti diabetes, gagal ginjal, jantung, dan hepatitis bermuara pada dua hal ini. Asupan makanan cepat saji, minuman bergula dan jarang berjalan tidak dapat dipungkiri sebagai awal mula menumpuknya zat berbahaya dalam tubuh.

Tubuh manusia sejatinya dapat menetralisir benda asing yang dianggap merugikan atau mendatangkan bahaya. Namun dari itu, untuk mampu bekerja sebagaimana fungsinya masing-masing, organ-organ vital tubuh mestilah berada pada kondisi prima. 

Jantung misalnya, sebagai organ sakral yang memompa darah setiap detiknya, memerlukan kerjasama pemilik tubuh untuk bekerja optimal. Aktif bergerak dan menjaga makanan adalah dua yang seharusnya dilakukan setiap hari.

Bagaimana mungkin organ yang sangat penting ini bekerja maksimal jika makanan yang masuk ke dalam tubuh berupa sampah? Contohnya, minuman dengan rasa manis berlebih, minuman soda, alkohol dan makanan cepat saji.

Terlebih, ketika makanan dan minuman seperti ini menumpuk dan memberatkan kerja organ lain secara bersamaan. Lalu, dengan gaya hidup malas bergerak dan aktif di depan layar komputer, lemak yang seharusnya bisa dihilangkan lewat olahraga malah menjadi sumber penyakit.

Makanya, penyakit diabetes begitu mudah menyerang mereka yang berumur belia bersebab pola hidup yang tidak memahami efek makanan dan minuman tidak sehat bagi tubuh. 

Tidak hanya itu, orangtua yang terbiasa dengan konsumsi makanan cepat saji atau jenis daging-dagingan yang diproses ditambah kebiasan mengonsumsi minuman manis, telah menjadi agen sedentary lifestyle.

Di Jepang, jauh sebelum masuknya makanan cepat saji dari barat, pola hidup mereka sangat sehat. Sayangnya, kehadiran fast food menyebabkan bukan hanya kesehatan yang memburuk, namun juga etika makan yang bergeser. 

Dalam sebuah artikel berjudul Health fears as Japan falls for fast food [baca di sini] dipublikasikan oleh Guardian tahun 2007, anak-anak yang umurnya 9 tahun sudah mulai terjangkiti diabetes tipe 2. Dulunya penduduk Jepang tidak pernah mendapati kasus serupa.

The fast-food industry is enjoying unprecedented success in Japan

Jepang tentu saja bukan satu-satunya negara yang dirugikan karena kehadiran industri makanan cepat saji asal barat. Secara ekonomi, keuntungan perusahaan yang menaungi makanan cepat saji begitu besar.

Kenapa makanan cepat saji sangat mudah menggait pengunjung? GULA! 

Coba perhatikan betapa manisnya minuman yang bisa dipesan di gerai-gerai makanan cepat saji. Donut, es krim, minuman dengan toping es krim jelas sangat menggoda.

Parahnya lagi, kebiasaan makan yang tidak terkontrol dengan pergerakan sangat minim membuat tubuh dua kali lebih rentan terhadap ragam jenis penyakit.

Pada kenyataannya, manusia perlu banyak bergerak untuk menjaga kemampuan tubuh agar mampu mengeliminasi segala jenis racun yang berasal dari makanan atau minuman. Terlebih, akses pada buah-buahan dan sayuran yang terkontaminasi zat kimia berbahaya tidak mudah dihindari. 

Sedentary lifestyle juga berefek pada berkurangnya kemampuan konsentrasi akibat berkurangnya jatah istirahat. Pola kerja yang seringkali tidak mengenal waktu mengubah jam tidur yang juga memperburuk kerja organ vital tubuh. 

Jam istirahat tubuh yang sebenarnya bermanfaat untuk membantu tubuh membuang racun juga hilang. Kebiasaan tidur telat atau begadang tanpa disadari membuat kerja organ seperti liver, ginjal, pankreas semakin terganggu. 

Alhasil, ketika benda asing seperti bakteri dan virus masuk ke tubuh, anti bodi tidak bekerja cepat seiring melemahnya fungsi organ untuk menetralisir makanan dan minuman yang "berbahaya" bagi tubuh.

Jika saja tubuh terbiasa bergerak dengan rutin berjalan atau aktivitas jogging, lari, atau segala jenis olahraga, maka kemampuan organ-organ vital tubuh jelas lebih optimal.

Orangtua dalam hal ini punya peran penting untuk membiasakan makan dan minum yang sehat dari dalam rumah. Sebaliknya, kalau orangtua sendiri terbiasa makan makanan cepat saji dan minuman bergula serta malas bergerak, maka anak akan mengikuti gaya hidup yang dicontohkan.

Itulah yang menjadi masalah terbesar hari ini. Para orangtua sangat sedikit memberi contoh dalam hal memilih makanan dan minuman yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh.

Pemahaman tentang makanan sehat yang minim dipahami orangtua menjadi bumerang bagi pola hidup anak dewasa ini. Selain itu, banyak orangtua yang condong membawa makanan cepat saji ke dalam rumah ketimbang memasak sendiri.

Anak pada akhirnya gagal memahami bagaimana konsep dan nilai hidup sehat dari dalam rumah. Ketika mereka mulai hidup mandiri, pola hidup yang sama diteruskan dan diwariskan ke generasi selanjutnya.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan orangtua?

Pada dasarnya, pola hidup sederhana dengan rajin memasak dan banyak bergerak sebaiknya diperbanyak. Orangtua terlebih dahulu mulai dengan membawa makanan sehat ke dalam rumah dan mengenalkan pada anak. 

Dengan demikian, anak dapat mengenal jenis makanan dan minuman sehat dari kedua orang tua langsung dari dalam rumah. Kebiasaan makan di rumah juga menambah keakraban anggota keluarga. 

Mungkin tidak semua keluarga dapat menjalankan kebiasaan makan bersama karena alasan berbeda. Faktor kerja dan kesibukan yang beragam bisa menjadi alasan utama. 

Namun dari itu, kepala keluarga mesti memiliki visi hidup sehat yang diwujudkan dengan kerja sama antar anggota keluarga. Kendala waktu bisa diatasi jika saja target hidup sehat berada pada daftar teratas prioritas keluarga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun