Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apakah Indonesia Mampu Menjadi Negara Food Estate?

24 Agustus 2023   15:14 Diperbarui: 24 Agustus 2023   15:19 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Food estate | Freepik.com

Kebutuhan pangan seiring tajamnya pertumbuhan penduduk adalah sebuah keniscayaan. Indonesia perlu berpikir jauh kedepan untuk memetakan sumber pangan dan proyeksi pertumbuhan pangan nasional.

Mewujudkan food estate tentu bertumpu pada lahan yang luas, namun ketersediaan lahan tanpa perencanaan yang matang tidak akan membuahkan hasil maksimal.

Program food estate yang sudah lama digemborkan kini seakan membisu. Food estate lebih ramah dikenal dengan sebutan lumbung pangan. Tujuannya agar ketahanan pangan di tingkat nasional terjaga.

Sayangnya, program food estate ini boleh dikatakan jauh panggang dari api. Ada yang mensinyalir terjadinya kerusakan ekosistem hutan akibat tidak adanya perhitungan matang terhadap pembukaan lahan baru.

Sebagai contoh, merujuk pada Kompas.com [16/8/203] lahan singkong di kalimantan Tengah seluas 600 hektar mangkrak akibat 'kekurangan' anggaran, sementara 17 ribu hektar sawah baru tak kunjung panen. 

Akibatnya, persoalan baru muncul karena pembukaan lahan menyebabkan ekosistem sekitar berubah, sehingga banjir mudah datang dikarenakan banyak pohon yang ditebang.

Di pihak pemerintah, mereka mengklaim bahwa program ini tidak gagal, namun hanya terkendala anggaran. Padahal, realita lapangan memberikan gambaran yang lebih buruk. 

Pertanyaannya, apakah program food estate ini tidak mengedepankan penghijauan? artinya, secara perhitungan kasar, jika ratusan pohon harus ditebang untuk membuka lahan, bukankah daya serap air berkurang?

Bukan hanya itu, pembukaan lahan baru malah memperburuk kualitas udara karena suplai oksigen alami dari pepohonan bakal menurun tajam 10 tahun kedepan.

Secara tidak langsung, walaupun ketersediaan makanan bertambah, ketersediaan oksigen semakin menipis. Ibaratnya, memberi solusi dengan menambah masalah baru.

Lumbung pangan jelas penting bagi sebuah negara, apalagi dengan laju penduduk yang terus naik. Namun dari itu, konsep food estate harus mempertimbangkan letak geografis daerah, sumber air, dan juga kualitas tanah. 

Kita tidak bisa menafikan bahwa tidak semua lahan akan cocok untuk ditanami jenis tanaman bervariasi. Letak geografis dan struktur tanah sebaiknya diteliti, dikaji, dan dikalkulasi dengan sedetil mungkin.

Misalnya, kawasan mana yang lebih cocok ditanami singkong dengan kondisi tanah yang relatif cocok. Jika perlu, harus ada kajian kausalitas yang memungkinkan untuk mengetahui efek negatif pada habitat sekitar.

Kualitas Pangan

Kebutuhan pangan yang meningkat perlu disikapi dengan perencanaan matang. Memaksakan untuk membuka lahan seluas-luasnya demi ketersediaan pangan bukanlah pilihan bijak.

Faktor kualitas juga semestinya menjadi acuan dasar pada konsep food estate. Sebagai contoh, setiap pembukaan lahan sebaiknya melibatkan masyarakat yang memang memahami keadaan alam sekitar.

Jadi, bukan sekedar melihat potensi lahan dari sudut pandang sepihak, namun menitikberatkan sudut pandang sosial budaya. Dalam artian, kultur masyarakat dalam hal bertani menjadi basis awal penentuan mungkin tidaknya lahan dibuka dan ditanami jenis tanaman yang menghasilkan.

food estate | Sumber: https://www.greenpeace.org/indonesia
food estate | Sumber: https://www.greenpeace.org/indonesia

Sebelum lahan dibuka, perlu ada kajian awal dengan menanami jenis tanaman yang diproyeksi berkualitas. Sebagai contoh, tanaman jagung diujicoba pada bakal lahan dan dilihat bagaimana ketersediaan air, unsur hara tanah, dan kualitas buah dari luas lahan.

Berikutnya, analisa efek negatif yang muncul dan kalkulasi keuntungan baik dari sisi ekonomi pada taraf hidup masyarakat sekitar. Intinya, jangan sampai pembukaan lahan hanya memperkaya kaum tertentu dan meninggalkan efek jera pada kawasan sekitar lahan.

Cetak biru lumbung pangan akan lebih bijak jika dipresentasikan ke publik, baru kemudian opini masyarakat ditampung, dipilah dan dijadikan patokan kelayakan pembukaan lahan baru.

Jangan sampai, program food estate hanya terkesan menghabiskan APBN yang sejatinya lebih bermanfaat untuk pada dihabiskan kesejahteraan rakyat dalm jangka panjang.

Kita berharap tidak ada unsur politik yang bercampur aduk pada program food estate. Walaupun ini adalah program nasional yang menjadi prioritas presiden, jangan sampai ada pihak yang memakai isu food estate sebagai batu loncatan.

Perlu diingat, kita tidak sedang berlomba-lomba untuk merusak alam demi sebuah harapan palsu yang sulit dicernak akal. Alam sudah lama memberi kehidupan bagi ratusan juta orang di negeri ini.

Pembukaan lahan baru memang terlihat begitu menjanjikan untuk pemenuhan pangan kedepan, tapi tidak untuk memuaskan nafsu segelintir orang yang bersembunyi dalam istilah food estate. 

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun