Kesadaran hidup bersih sejatinya diwariskan dari generasi ke generasi. Selama manusia masih mengkonsumsi makanan dan minuman, maka keberadaan sampah bukan sesuatu yang perlu ditakutkan.
Sampah pada kenyataannya sering dianggap sebagai musuh. Terlebih, plastik pembalut makanan dan minuman menjadi ancaman serius bukan hanya untuk manusia, namun juga kalangan hewan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 19 juta ton sampah dihasilkan dari produk makanan per tahunnya di Indonesia. Dari jumlah tersebut, mayoritasnya berasal dari sisa makanan.Â
Jika merujuk pada angka per hari, setidaknya 175 ribu ton sampah dihasilkan di Indonesia.
Kalau melihat persentase sampah pada grafik di atas, sisa makanan menduduki peringkat pertama (41%). Sementara sampah plastik berada di urutan kedua jenis sampah terbanyak, yaitu mendekati setengah dari sisa makanan (18%).
Artinya, dari data ini setidaknya ada dua asumsi berdasar yang layak dipertanyakan. Pertama, apakah ada yang salah dengan pola makan orang Indonesia. Kedua, kebijakan penggunaan plastik sebaiknya dikalkulasi dengan tingkat kebutuhan normal.Â
Dengan jumlah penduduk mendekati angka 200 juta, jumlah makanan yang dikonsumsi pasti meningkat. Akan tetapi, urutan sisa makanan di posisi teratas seharusnya sudah lama dikhawatirkan.
Jangan-jangan, selama ini konsumsi makanan oleh kebanyakan orang Indonesia terlalu berlebih, sehingga secara tidak disadari juga berdampak pada peningkatan jumlah penyakit di kalangan remaja.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia per September 2022 adalah 26 juta. Bukankah sampah sisa makanan yang terbuang sia-sia cukup tinggi?
Anggap saja 9 juta ton sampah dari sisa makanan per tahunnya mampu ditekan ke angka 1 juta saja, ini bermakna permasalahan kemiskinan juga bisa teratasi dengan mudah. Teorinya seperti itu, tapi aplikasi di lapangan bertolak belakang.
Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya mengganti pola makan ke arah yang lebih sehat dan hemat?
Konsumsi makanan berlebih umunya terjadi di area perkotaan. Jelas ini bukan tanpa alasan! gaya hidup dan tren yang berkembang menjadi pematik nafsu makan berlebih.
Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh, lihat saja sisa makanan yang terbuang tanpa makna pada sepiring nasi. Ini berlaku di warung, rumah, atau bahkan acara pesta perkawinan dan yang semisalnya.Â
Mungkin saja kita tidak menyadari pola konsumsi makanan yang menuruti nafsu telah merusak tatanan hidup. Gambaran sisa makanan yang menumpuk di dapur adalah refleksi kemiskinan pada dimensi kehidupan berbeda.
Boleh jadi, dengan mengubah cara makan dan membangun pemahaman makan dan minum sehat, jumlah sampah plastik akan menurun drastis.
Sekarang ini, rata-rata penjual di pasar menfasilitasi kantong plastik. Per orang yang berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari membutuhkan minimal 2-3 jenis kantong plastik untuk memenuhi kebutuhan belanja sayuran, ikan, buah, dll.
Berapa banyak yang mau membawa kantong belanjaan sendiri? SANGAT SEDIKIT!
Semakin tinggi konsumsi makanan menyebabkan tingginya barang belanjaan. Maknanya, tuntutan akan penggunaan plastik juga semakin hari semakin meninggi. Sebaliknya, jika saja pola makan dijaga secukupnya, jumlah belanjaan juga berkurang.
Nah, ketika berbicara pola makan, ada banyak faktor yang perlu dianalisis. Kebiasaan makan dalam keluarga, kesadaran akan makanan dan lingkungan sehat tentu saja saling mempengaruhi.
Mari sejenak kiat melihat perbandingan jumlah total sampah di negara lain. Amerika, India, dan Cina menduduki peringkat teratas penghasil sampah terbesar di dunia.
Cina dan India memiliki jumlah penduduk relatif sama, yaitu 1.4 milyar jiwa, sementara Amerika masih di angka 331 juta jiwa. Tentu saja, angka kebutuhan makanan dan minuman berbanding lurus dengan jumlah penduduk.
Sekarang, mari melihat lebih dekat lagi. Data dari The World Counts menyatakan Bantar Gebang kawasan Bekasi sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Sebanyak 40 juta ton sampah berada di sana dan 240 ribu ton sampah rumah tangga berakhir di sini setiap tahunnya [baca di sini].
Ghana juga masuk dalam kategori teratas penampung sampah elektronik yang mencapai angka 192 ribu pertahunnya. Makanya, frasa consumer society cukup memberi gambar bagaimana pola konsumsi berefek pada peningkatan jumlah sampah.
Penduduk Amerika menyumbang 12% total sampah dunia. Buruknya lagi, hanya 3 juta dari 36 juta sampah yang mampu didaur ulang. Sisanya berakhir pada gunungan sampah.[baca di sini].
Environmental Protection Agency (APA) mencatat 290 juta ton limbah dihasilkan oleh penduduk Amerika di tahun 2018. Jumlah ini bukan saja sebatas angka, tapi juga realita lapangan.
Di India, ada 3.159 tempat pembuangan sampah yang terus dipadati sampah plastik setiap harinya. Parahnya lagi, menurut Delhi-based think tank Centre for Science and Environment (CSE), terdapat 800 juta ton sampah di semua titik ini. [baca di sini]
Bagaimana dengan Cina?Â
Setidaknya jumlah sampah di tahun 2021 mencapai 249 juta ton. Nah, dari perbandingan angka penduduk, kita bisa melihat kuantitas sampah antara Cina dan India yang begitu kontras walaupun jumlah penduduknya yang hampir sama.
Kesadaran akan pemilahan sampah condong lebih baik pada masyarakat Cina dibanding India. Pun demikian, peran pemerintah akan kebijakan persampahan juga sangat menentukan pertumbuhan jumlah sampah.
Menyelaraskan kebijakan sampah di semua provinsi
Membakar sampah memang bukan pilihan yang baik. Pemerintah perlu mengkaji ulang antara kebijakan yang dirancang dan pelaksanaan di lapangan.
Masyarakat awam belum tentu memahami secara mendalam akan efek membakar sampah pada lingkungan. Pola konsumsi makanan, jenis tong sampah, dan klasifikasi jenis sampah masih belum jelas.
Kebijakan sejatinya mengakomodir ketersediaan penunjang aturan. Misalnya, jenis tong sampah yang bervariasi wajib tersedia pada radius kilometer tertentu. Ini perlu dikaji, dianalisis, dan diatur dengan tujuan tepat dan terstruktur.
Jadi, bukan hanya melarang dan mengatur saja lewat kebijakan yang berubah-rubah. Buat target yang jelas dan proyeksi penurunan sampah dalam 5-10 tahun.
Lantas, aturan jangan terkesan sekedar basa basi. Jika memang sampah tidak boleh dibakar, apa solusi yang tersedia? Apakah pemerintah daerah mampu mengkalkulasi dan kemudian menyediakan peralatan daur ulang sampah organik dan non-organik?
Jika tidak, bisakah pemerintah menghasilkan kebijakan yang mampu membatasi penggunaan plastik dalam rumah tangga? Dengan kata lain, adakah kemauan untuk mengubah pola hidup dalam kebijakan yang dirembuk?
Lingkaran sampah akan tetap sama jika solusinya tidak jelas. Kebijakan semu hanya bersifat sementara. Malah, tantangan terbesar ada pada mengubah perilaku komsumtif.
Menyediakan tong sampah sebanyak-banyaknya bukanlah solusi tepat. Pemerintah harus lebih cerdik dan benar-benar paham lingkaran sampah. Sehingga, kebijakan yang ditujukan tidak merugikan satu pihak, lalu menguntungkan pihak tertentu.
Intinya, membakar sampah dan menumpuk sampah sama bahayanya. Yang harus dipikirkan adalah, bagaimana caranya mengurangi jumlah sampah setiap harinya.
Sudahkah pemerintah memiliki data akurat tentang konsumsi makanan rumah tangga, jumlah plastik yang digunakan ibu rumah tangga, dan angka pasti sisa makanan yang terbuang berbentuk limbah dapur?
Jika belum, maka ada baiknya pemerintah menghitung secara akurat dengan media aplikasi karya anak bangsa. Toh, banyak pakar yang mampu membuat aplikasi penghitung sampah.
Dengan begitu, masyarakat diajak bekerja sama untuk mencatat jumlah konsumsi per hari, sisa limbah makanan dan penggunaan sampah plastik dalam rumah tangga.
Beri penghargaan bagi keluarga yang tercatat mampu menurunkan limbah sisa makanan dan plastik. Caranya? Ya, zaman sudah canggih, tinggal divalidasi saja. Paling kurang, keluarga yang tercatat mengurangi sampah dihadiahi beras gratis atau kebutuhan pokok.
Gaya hidup dan pembiasaan hidup sehat harus diutamakan. Lingkungan bersih adalah hasil kerja sama atar individu. Pemahaman akan lingkungan sehat juga sewajarnya diajarkan dalam keluarga, institusi pedidikan, dan ranah publik.
[Masykur]
Referensi [1], [2], [3], [4], [5],[6], [7]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H