Lantas, aturan jangan terkesan sekedar basa basi. Jika memang sampah tidak boleh dibakar, apa solusi yang tersedia? Apakah pemerintah daerah mampu mengkalkulasi dan kemudian menyediakan peralatan daur ulang sampah organik dan non-organik?
Jika tidak, bisakah pemerintah menghasilkan kebijakan yang mampu membatasi penggunaan plastik dalam rumah tangga? Dengan kata lain, adakah kemauan untuk mengubah pola hidup dalam kebijakan yang dirembuk?
Lingkaran sampah akan tetap sama jika solusinya tidak jelas. Kebijakan semu hanya bersifat sementara. Malah, tantangan terbesar ada pada mengubah perilaku komsumtif.
Menyediakan tong sampah sebanyak-banyaknya bukanlah solusi tepat. Pemerintah harus lebih cerdik dan benar-benar paham lingkaran sampah. Sehingga, kebijakan yang ditujukan tidak merugikan satu pihak, lalu menguntungkan pihak tertentu.
Intinya, membakar sampah dan menumpuk sampah sama bahayanya. Yang harus dipikirkan adalah, bagaimana caranya mengurangi jumlah sampah setiap harinya.
Sudahkah pemerintah memiliki data akurat tentang konsumsi makanan rumah tangga, jumlah plastik yang digunakan ibu rumah tangga, dan angka pasti sisa makanan yang terbuang berbentuk limbah dapur?
Jika belum, maka ada baiknya pemerintah menghitung secara akurat dengan media aplikasi karya anak bangsa. Toh, banyak pakar yang mampu membuat aplikasi penghitung sampah.
Dengan begitu, masyarakat diajak bekerja sama untuk mencatat jumlah konsumsi per hari, sisa limbah makanan dan penggunaan sampah plastik dalam rumah tangga.
Beri penghargaan bagi keluarga yang tercatat mampu menurunkan limbah sisa makanan dan plastik. Caranya? Ya, zaman sudah canggih, tinggal divalidasi saja. Paling kurang, keluarga yang tercatat mengurangi sampah dihadiahi beras gratis atau kebutuhan pokok.
Gaya hidup dan pembiasaan hidup sehat harus diutamakan. Lingkungan bersih adalah hasil kerja sama atar individu. Pemahaman akan lingkungan sehat juga sewajarnya diajarkan dalam keluarga, institusi pedidikan, dan ranah publik.
[Masykur]