Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Siapa Penjajah Sebenarnya dalam Keluarga?

5 Mei 2023   10:34 Diperbarui: 5 Mei 2023   11:05 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Smartphone | freepik.com

Raji adalah siswa sekolah menengah atas di sebuah desa pinggiran kota. Ayahnya seorang pegawai swasta dengan gaji standar UMR. Ibunya memutuskan untuk menjadi IRT sambil berjualan online untuk membantu kebutuhan keluarga. 

Dengan tujuan tidak ketinggalan jaman, Raji sudah memiliki sebuah smartphone sejak kelas satu SMA. Setiap harinya, Raji terbiasa untuk membuka WA, IG, TikTok dan Facebook.

Jika dikalkulasi, setidaknya 6 jam waktunya terserap pada smartphone dengan aktivitas yang tidak menentu ujungnya. Tanpa penghasilan, Raji selalu menagih uang paket internet sebesar 100/bulan.

Padahal, ayah Raji tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sekolahnya, kecuali untuk hal-hal yang diwajibkan sekolah. Sedangkan untuk adiknya Rena, hasil jualan online ibunya dipakai untuk biaya sekolah PAUD sebesar 50 ribu/bulan.

Rena juga sudah terbiasa dengan smartphone. Sejak usia 3 tahun, ibunya kerap membiarkannya memegang HP. Akibatnya, Rena kerapkali merengek saat tidak diberikan HP oleh ibunya.

Sebagai seorang ibu, Lena tentu saja tida tega mendengar suara rengekan dan tangisan sang anak. Jadinya, ia dengan mudah menyerahkan HP untuk Rena. Dengan cara itu, ia bisa leluasa untuk mengerjakan hal lain. 

Terkadang, paket internet Rena bisa habis dalam dua hari dan harus diisi kembali untuk jualan online. Anaknya dibiarkan untuk membuka YouTube dan mengakses video secara acak sampai berjam-jam. 

Tidak heran, banyak hal yang sudah dipelajari anaknya. Rena mampu berjoget dan mengucapkan banyak kosakata baru. Ibunya merasa bangga karena anaknya dianggap sudah belajar hal baru. 

Raji juga tidak ketinggalan. Ia sangat aktif di media sosial yang betah membuka IG berjam-jam. Waktu untuk belajar tidak pernah dihiraukan, bahkan nilai di sekolah anjlok. 

Kepribadiannya perlahan berubah, Raji malas berinteraksi dan mudah tersinggung jika diingatkan ibunya agar tidak sering bermain HP.

Ayah Raji jarang berkomunikasi karena sibuk bekerja. Untuk sekedar liburan saja mereka tak pernah diajak.  Akhirnya, Raji tumbuh sebagai sosok yang egois dan jarang membantu orang tua. 

Pernahkah anda mendengar atau menyaksikan situasi serupa di sekitar?

Di era digital saat ini, anak-anak sudah sangat terbiasa dengan smartphone. Orang tua dengan sukarela menfasilitasi kebutuhan smartphone sejak anak berusia belia.

Di beberapa kesempatan, saya menyaksikan orang tua yang sengaja membelikan smartphone dengan fitur canggih untuk anak. Ada yang masing-masing anak diberikan smartphone agar mudah 'belajar'.

Situasi seperti ini bukanlah hal baru. Di lingkungan kita, anak-anak terlihat sulit hidup tanpa smartphone. Mereka bebas mengakses konten dewasa karena memang diberi akses oleh orang tua.

Informasi yang seharusnya tidak dikonsumsi menjadi makanan sehari-hari. Tidak heran, banyak anak saat ini tumbuh lebih dewasa daripada umurnya. Cara pikirnya juga sudah berubah, pola pikirnya tentang waktu juga bergeser.

Kembali pada judul tulisan, Siapakah penjajah sebenarnya?

Untuk mendapatkan jawaban, mari kita terlebih dahulu memahami makna kata penjajah. Merujuk pada KBBI

  • penjajah/pen*ja*jah/ memiliki dua makna: (1) negeri (bangsa) yang menjajah (2) orang yang terlalu menguasai (menindas dan sebagainya) orang lain (bawahan dan sebagainya).

Nah, tanpa kita sadari, smartphone secara tidak langsung dapat menjajah seseorang. Tentu saja ini bisa kita pahami sebagaimana efek smartphone menguasai waktu banyak orang.

Anak-anak, remaja, orang dewasa sangat mudah dikuasai oleh smartphone dalam banyak hal. Jika mau jujur, berapa banyak manfaat yang didapat dari membuka media sosial selama berjam-jam?

Terlebih pada anak, apakah lebih banyak keuntungan atau kerugian yang didapat ketika anak terlalu bebas mengakses smartphone. 

Kita tentu saja tidak sedang berdebat sisi positif smartphone yang bisa diperoleh seseorang, namun lebih kepada seberapa banyak waktu terbuang sia-sia di umur belia.

Sebagai orang tua yang bijak, saya rasa kita semua mengetahui jawabannya. Raji dan Lena pada contoh diatas adalah ilustrasi kebanyakan keluarga saat ini.

Anak-anak sudah kehilangan jati diri dan mudah menjadi pribadi yang egois sejak kecil. Otak mereka dijajah oleh smartphone, sehingga kemampuan fokus dan konsentrasi jauh lebih sedikt dibandingkan anak-anak jaman dulu.

Dari sisi emosional, anak-anak generasi sekarang kurang bisa mengontrol emosi. Manajemen emosi mereka terganggu akibat keseringan mengakses smartphone. Hal ini berefek lebih besar ketika dewasa nanti.

Lebih buruknya lagi, pola pikir tentang waktu tidak dipahami dengan baik.  Kenapa ini bisa terjadi? jawabannya simpel, karena hormon yang terpancing ketika memegang smartphone bukan secara sewajarnya.

Akhirnya, para remaja sulit untuk berinteraksi satu sama lain tanpa smartphone. Sejenak saja tangan mereka tidak memegang smartphone, seakan ada sesuatu yang kurang. 

Etika kesopanan tidak lagi dikedepankan. Ketika bertamu, anak-anak sibuk memegang smartphone dan terkesan cuek. Begitulah kondisi saat ini. Interaksi sosial semakin memburuk, sifat individualis lebih dikedepankan.

Anak terkesan pintar ketika mengakses smartphone, namun sebenarnya sistem kerja otak mereka terganggu. Ibaratnya, ada banyak data yang seharusnya tidak disimpan otak namun tersimpan otomatis bersebab tontotan.

Waktu yang seharusnya berharga, kini lenyap dalam sekejap karena kelalaian mengakses smartphone. Anak-annak sudah tidak lagi mengenal siapa yang menjajah mereka setiap harinya. 

Jauh lebih buruk lagi, orang tua dengan mudah menfasilitasi penjajah masuk dalam hidup anak.  Siapa yang kemudian bakal dirugikan?

Sejujurnya, rasa sayang orang tua seringkali dipahami dengan cara yang tidak bijak. Konsekuensi akses smartphone pada anak-anak di bawah umur akan muncul ketika anak dewasa.

Sekarang saja, kita sudah bisa melihat hilangnya nilai-nilai kesopanan dalam kehidupan anak. Ada anak yang dengan mudah menyuruh dan mengatur orang tua. Orang tua semakin ditekan anak, perlahan namun pasti anak juga akan menjadi penjajah kecil berwujud mungil. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun