Menghalalkan sebuah produk dalam bingkai islam pastinya sangat penting. Halal hendaknya tidak  semata-mata dimaknai sebagai jalur berkembangnya sebuah bisnis. Lebih jauh lagi, sertifikasi produk halal semestinya dimaknai dengan bijak.Â
Dalam hal pengembangan bisnis, produk yang sudah berlebel halal sudah dimaklumi memiliki daya jual tinggi. Tapi, apakah hanya itu tujuannya?Â
Sebagai seorang muslim, tentu saja saya menganggap kehalalan sebuah produk makanan sebagai indikator layak konsumsi. Makanan dengan lebel halal mampu meyakinkan konsumen dari kalangan muslim.Â
Tidak dapat dinafikan, bisnis makanan dan minuman mengincar jumlah konsumen yang besar. Apalagi, sistem bisnis franchise yang sudah melebarkan sayap kemana-mana berharap profit yang lebih besar.
Indonesia memiliki populasi muslim yang besar. Katagori makanan dan minuman halal yang dikomsumsi muslim haruslah sesuai dengan standar syariat. Artinya, tidak ada unsur haram di dalamnya.Â
Misalnya, untuk jenis daging ayam, lembu, bebek, dll harus disembelih dengan mengikuti standar islam. Pemeluk agama islam jelas mengerti tentang ini, walaupun masih ada yang belum 100% paham mekanismenya.
Jenis makanan seperti kue berbeda standar halalnya. Simpelnya, tidak boleh ada unsur yang dianggap melanggar syariat, seperti alkohol atau jenis daging semisal anjing dan babi.
Saya punya pengalaman menarik saat studi di Taiwan. Saat pertama tiba disana, saya sangat kesulitan menemukan produk halal. Apalagi di kawasan kampus, kalau tidak ada babinya, ya mereka memakai minyak babi saat mengolah makanan.
Mau tidak mau, saya harus lebih berhati-hati. Akhirnya, saya memutuskan untuk menjadi vegetarian beberapa saat menimbang unsur mudharat yang lebih besar.Â
Namun, seiring waktu saya mulai menemukan restoran dengan sertifikat halal tertempel di depannya. Tentu saja harganya lebih mahal, tapi jauh lebih terjamin.Â
Jika punya uang lebih, saya akan makan 1-2 kali di luar kampus. Biasanya, saya berkunjung ke restoran milik orang Thailand atau warga lokal, Taiwan.
Ada juga versi ayam yang disembelih oleh muslim yang dijamin halal. Tetap saja, harganya 20% lebih mahal dari harga ayam yang diproses secara tidak halal.Â
Produk seperti es krim juga bisa tidak halal dikonsumsi saat mengandung unsur haram. Contohnya bagaimana? Untuk bahan makanan, ada yang namanya gelatin.
Gelatin adalah ekstrak protein yang diambil dari tulang rawan hewan ternak seperti sapi, babi dan ikan. Nah, jika bahan gelatin diambil dari babi, maka jelas hukumnya haram.
Pada es krim, gelatin digunakan untuk melembutkan tekstur. Sama halnya yang digunakan pada permen yang kenyal. Kalau gelatin untuk es krim dan permen didapat dari sapi atau ikan, jelas masuk katagori halal.Â
Memaknai Produk Halal
Pertanyaannya, bagaimana jika sapi tidak disembelih dengan standar islam? Jelas saja ini menjadi dilema tersendiri bagi yang mengkonsumsinya?
Sedangkan dalam islam, makanan yang dikonsumsi terdapat unsur haram di dalamnya akan berdampak buruk bagi yang mengkonsumsi.
Bukan hanya dinilai secara kesehatan saja, namun yang lebih penting lagi unsur haram yang masuk dalam tubuh berakibat pada karakter atau kepribadian seseorang.
Jadi, memahami sertifikasi halal ini jangan hanya dipandang sebagai ladang bisnis semata. Pihak MUI perlu dengan sebaik-baiknya mengawasi dan mengawal sebuah produk jauh sebelum dikeluarkan sertifikat halal.Â
Jangan sampai, MUI hanya sebatas mengecek unsur kelengkapan berkas dan melakukan observasi 1-2 kali saja, lalu mengerluarkan sertifikat halal.
Namun dari itu, MUI juga harus punya standar kerja yang jelas. Termasuk, menjelaskan kriteria halal sebuah produk, proses pengajuan sertifikasi halal, berapa lama prosesnya, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Prosedur Pengajuan Sertifikasi Halal
Saya yakin, MUI sudah memiliki standar kerja yang profesional. Terlebih, jika berkaitan dengan produk bermerek luar negeri, MUI semestinya lebih bijak untuk menfasilitasi proses dan pengecekan unsur halal secara terbuka.
Pemaknaan halal juga sebaiknya disosialisakan dengan baik pada pelaku usaha. Beri pemahaman yang mendalam tentang bagaimana sebuah produk dianggap halal dalam islam, baik secara proses, indikator, unsur bahan/material.
Akan lebih baik lagi jika MUI memiliki standar kerja terukur yang mempermudah proses sertifikasi halal. Meskipun demikian, MUI haruslah berlaku bijaksana pada setiap produk, terlepas siapa pemiliknya.Â
Ringkasnya, jangan sampai ada unsur politik di dalamnya. MUI harus menilai proses sertifikasi merujuk pada standar halal secara islam dan tidak mempermudah dengan alasan apapun.Â
Walaupun sebuah perusahaan mau membayar mahal, standar halal sebuah produk wajib dijaga dan dikawal ketat. Jika tidak, maka MUI harus bersiap menanggung dosa umat di akhirat.Â
Maknanya, jika sebuah produk sudah disertifikasi halal, maka yang mengkonsumsinya sudah terlepas dari kewajiban mengecek unsur halal di dalamnya.Â
Jika memang ada unsur haram yang masih terdapat pada produk yang sudah bersertifikat halal, konsumen tidak memiliki beban tanggung jawab sama sekali.
Oleh karenanya, sertifikasi halal jangan pernah menjadi ladang bisnis dalam konteks apapun. Mudahkan proses halal jika sudah sesuai prosedur yang ditetapkan.
Sebaliknya, jangan pernah bernegoisasi dan mengeluarkan sertifikat halal pada produk yang tidak mengindahkan prosedur yang berlaku sesuai ketetapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H