Biasanya, saya akan bertanya di pertengahan semester, siapa yang memang masuk ke fakultas keguruan karena berminat atau sebagai pelarian saja. Mahasiswa seringnya akan jujur ketika memberi jawaban.Â
Selain itu, saya juga menganalisa data lain berupa hasil tugas, kerjasama dalam kelompok, hasil ujian akhir, dan tak kalah penting kualitas mengajar.
Apa yang saya dapat? Lagi-lagi, hanya lima mahasiswa dari 30 yang boleh saya masukkan katagori siap menjadi guru dari sisi keilmuan, kepribadian, kemampuan mengajar dan minat mengajar.
Sisanya bagaimana? Mereka terbagi ke dalam dua bagian: pertama, mahasiswa dengan ilmu rata-rata dan minat menjadi guru masih belum sepenuhnya. Kedua, keilmuan kurang dan minat menjadi guru tidak ada dari awal.
Saya akhirnya mengambil kesimpulan, semoga saja kesimpulan saya ini tidak benar. Dari 300 mahasiswa keguruan yang terseleksi masuk ke fakultas keguruan, hanya 20% saja yang memang secara minat menjadi guru kuat dan kemampuan intelektual siap.
Artinya, 80% lagi berada pada posisi abu-abu. Antara ingin menjadi guru atau terpaksa menjadi guru karena sudah terlanjur kuliah pada Fakultas keguruan.
Saya melihat bahwa proses seleksi calon mahasiswa keguruan tidak efektif. Proses seleksi hanya sebatas menilai kemampuan intelektual, tapi menafikan bakat dan sisi psikologis seperti minat dan kepribadian.
Akhirnya apa yang terjadi? Ibarat menjaring ikan di laut lepas. Dengan jaring terlalu kecil, semua jenis ikan akan masuk ke dalam jaring. Jadinya, ikan yang tidak seharusnya masuk juga terjaring.Â
Lalu, ikan-ikan tersebut dibuang sia-sia atau berakhir di tempat penjualan ikan dengan nilai jual di bawah standar kualitas ikan.
Hal yang sama terjadi pada fakultas keguruan. Tidak sedikit calon guru yang terjaring bukan karena kesiapan menjadi guru. Mereka kuat secara intelektual, namun lemah dalam hal minat.