"Pak, jangan dihapus dulu, kami mau foto"
Begitulah ucapan beberapa siswa saat saya selesai mengajar. Lain dulu, lain sekarang! Siswa milenial sudah tidak terbiasa lagi dengan tulisan tangan. Mereka pingin sesuatu yang praktis tanpa mau capek.
Manfaat teknologi tak diragukan lagi, yang susah jadi mudah. Khususnya dalam hal catat mencatat, siswa tak perlu repot menghabiskan waktu untuk memindah materi pelajaran ke sebuah buku, tinggal foto saja urusan selesai.
Sekilas, memang tak ada yang salah. Toh fungsi teknologi bukan untuk mempersulit. "kalau bisa mudah, ngapain susah" sudah menjadi slogan anak remaja saat ini.
Teknologi dan Otak
Teknologi terkini berstandar pada cara kerja otak. Ada sebutan Artificial Intelligence (AI)Â yang menjadi lokomotif mesin-mesin canggih. Semua bisa diciptakan dengan program bahasa komputer lewat kecerdasan buatan.
Lalu, apakah manusia akan segera digantikan robot?
Dalam hal pelayanan, tentu saja bisa. Dengan menempatkan robot sebagai pengganti administrasi, ada penghematan yang bisa diperhitungkan.
Sayangnya, satu hal yang tidak mungkin dilakuka robot, yaitu ketika harus berinteraksi dengan hati. Tidak bahasa komputer untuk yang satu ini. Mau secanggih apapun teknologi, yang namanya perasaan itu tetap saja tidak bisa diprogram.
Saya kembali pada kemajuan teknologi saat ini. Tanpa kita sadari, cara kerja otak sebenarnya melambat saat kita bergantung pada teknologi.Â
Otak sejatinya berkembang setiap saat input baru masuk. Hal ini sulit terjadi ketika seseorang sangat bergantung pada smartphone. Contoh kecil, multitasking ternyata hanya ilusi belaka.
Tidak ada yang namanya multitasking. Bahkan, hasil penelitian menujukkan fungsi otak menurun saat seseorang melakukan dua atau tiga sekaligus.
Kenapa ini bisa terjadi? saat seseorang berpindah dari satu aktifitas ke aktifitas lain, fokus otak melemah.Â
Multitasking can interfere with working memory, cause students to do worse in school, and could possibly even create potentially long-term memory problems.
Ada bagian otak yang disebut hippocampus berperan untuk menyimpan informasi yang masuk. Idealnya, untuk berkembang dengan baik, bagian otak ini harus mendapatkan stimulasi secara alamiah, bukan dengan smartphone.
Kevin Paul Madore, seorang ilmuan otak di Stanford University menjelaskan bahwa ada dua hal yang akan mencederai otak saat seseorang melakukan dua atau tiga pekerjaan sekaligus.
Pertama, dari segi keakuratan. Semakin sering melakukan dua hal bersamaan, maka konsekuensinya adalah kehilangan kemampuan untuk melakukan sesuatu secara akurat.
Kedua, merujuk pada kecepatan kerja. Orang yang mudah berpindah dari satu hal ke hal lain akan kehilangan kemampuan untuk bekerja cepat.
Baik keakuratan dan kecepatan dalam melakukan sesuatu sangat berdampak serius bagi siapapun. Sayangnya, ketika kita sering membuka halaman baru (new tab) saat browsing atau buka WA sambil sesekali nonton Youtube, sinyal yang masuk ke otak terganggu.
Untuk bekerja secara normal, ada beberapa bagian otak yang saling terhubung, khusunya pada bagian yang melibatkan fokus dan kognitif.
Dengan melakukan multitasking, sebenarnya fokus otak melemah dan kecepatan berkurang. Jika dilakukan terlalu sering, maka ada bagian otak yang harus menanggung akibatnya.
Selain itu, orang yang sangat sering melakukan multitasking dalam keseharian condong mudah lupa. Apa alasannya? berpindah dari satu hal ke hal lain secara bersamaan membuat otak tidak menyimpan informasi secara utuh dalam waktu yang cukup.
Apa akibatnya? working memory melemah. Apa manfaat working memory? fungsi working memory yaitu menyimpan informasi dalam skala kecil untuk beberapa saat di otak, sama seperti fungsi RAM pada laptop dan komputer sebelum kemudian berpindah ke hardrive.
Working memory juga memiliki peran penting untuk membangun kemampuan problem solving dan kecepatan memproses informasi yang masuk ke otak.
Makanya, secara teori seseorang yang aktif melakukan multitasking memiliki kelemahan dalam hal memecahkan masalah dan memilah informasi yang diterima.
Tulisan tangan vs Foto
Pada saat siswa memilih untuk mengambil foto ketimbang mencatat, mereka kehilangan kesempatan untuk mempertajam fungsi otak. Alhasil, otak mereka akan melemah karena tidak ada rangsangan sama sekali.
Ya, secara kecepatan mereka bisa menyimpan banyak informasi sekejap, tapi kemudahan menyebabkan otak mereka cepat tumpul. Otak manusia boleh diibaratkan seperti pisau, semakin sering diasah maka semakin tajam.
Kalau tidak diasah? jelaslah, akan mudah berkarat dan tumpul.
Cara mengasah otak harus dengan input yang benar. Contohnya, dengan menulis tangan. Mencatat secara manual. Setiap gerakan tangan yang berpindah, saat itu informasi masuk ke otak.
Semakin banyak kita menulis, semakin banyak input yang masuk. Otak semakin terasah, working memory semakin baik. Dengan sendirinya, kemampuan fokus membaik, kecepatan dan ketepatan juga meningkat.
Smartphone tidak bisa memberi rangsangan alami pada otak. Semakin manusia bergantung pada smartphone, daya kerja otak semakin melemah. Akhirnya, orang akan kehilangan kemampuan berpikir logis karena menginginkan kemudahan.
Bukan berarti kita harus membuang smartphone, namun bijaklah dalam menggunakannya. Kemudahan dalam hidup tidak ada salahnya, tapi fungsi otak manusia secara alamiah mengikuti hukum alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H