Elon Musk dikenal sebagai sosok visioner yang berhasil menjembatani penemuan teknologi mutakhir. Udara dan darat setidaknya berhasil ia kuasai melalui SpaceX dan Tesla.
Apa yang membuat sosok Elon Musk berbeda dari kebanyakan orang? mungkinkah cara berpikirnya aneh?
Facts versus Analogy
Elon tidak berpikir layaknya kebanyakan orang. Konsep berpikirnya memakai pendekatan fakta dan alasan (fact and reasoning). Jika kebanyakan orang berpikir dengan berasumsi, Elon memilih untuk melihat kebenaran secara fakta baru kemudian memberi alasan.
Dalam sebuah wawancara dengan menteri pendidikan, Nadim Makarim, Elon memaparkan tentang konsep belajar yang benar. Baginya, ilmu pengetahuan tidaklah berguna jika tidak dilandaskan asas relevansi.
Misalnya, mengajarkan teori tanpa menjelaskan kegunaan ilmu tersebut dianggap tidak relevan. Yang benar adalah, menjelaskan terlebih dahulu apa relevansi ilmu yang dipelajari terhadap konteks sehari-hari.
Contoh sederhana, menjelaskan fungsi perkakas untuk membenarkan alat elektronik yang rusak akan membantu otak untuk menghubungkan informasi.
Sayangnya, dunia pendidikan melakukan hal terbalik. Teori dijelaskan lebih awal, namun konteks penggunaan teori tidak dipaparkan. Akhirnya, siswa tidak memahami secara utuh apa kegunaan ilmu yang dipelajari.
Sebab itu, Elon Musk mengungkapkan bahwa ada gap besar antara teori dan aplikasi dalam dunia pendidikan. Selama kurikulum tidak membangun nilai relevansi dalam konsep ilmu, maka fungsi ilmu tidak akan maksimal.
Dia juga menjelaskan bahwa perusahaan sering menemukan para pekerja baru yang paham secara teori tapi sulit menindaklanjuti apa yang sudah dipelajari.Â
Inilah yang menyebabkan banyak perusahaan yang harus mengeluarkan uang lebih untuk menyediakan training khusus bagi karyawan.
Problem versus Fundamental Truths
Inovasi tidak terjadi kecuali dimulai dari sebuah masalah yang dipecahkan. Sayangnya, kebanyakan orang terperangkap pada konsep berpikir mayoritas, dimana sebuah masalah selalu dilihat sebagai satu kesatuan utuh.
Elon berbeda ketika memandang sebuah masalah dan cara pemecahannya. Contoh kecil, dalam hal baterai umumnya orang akan melihat sisi harga dan kegunaan. Lalu, membangun asumsi bahwa harga baterai lebih mahal ketika dipakai pada mobil listrik.
Berbeda dengan kebanyakan, Elon malah menawarkan sudut pandang berbeda. Baginya, memecahkan masalah harus dipilah-pilah berdasarkan kebenaran sampai hal terkecil.
Pada contoh baterai, Elon lebih memilih untuk melihat komponen baterai, menganalisa kegunaan per item, mengecek harga komponen, baru kemudian mengambil kesimpulan.
Memang cara ini terlihat lebih rumit, tapi pada kenyataannya sebuah inovasi mutakhir tidak mudah terjadi hanya dengan asumsi umum. Makanya, ia tidak terjerumus pada kebanyakan asumsi orang.
Trend versus Sense
Dalam acara wisuda mahasiswa di University of Southern California, Elon memberi sebuah nasehat berbunyi "Don't just follow the trend. It's good to think in terms of the physics approach --- the first principles,"
Nasehat yang ia sampaikan menunjukkan satu prisip berpikir, yaitu If something really makes sense. Artinya, daripada terbawa arus kebanyakan orang, lebih baik analisa terlebih dahulu apakah sesuatu yang kita ikuti masuk akal.
Tentunya, ini tidak mudah dilakukan jika tidak mengedepankan asas berpikir kritis. Mengikuti mayoritas tidak ada salahnya, namun dalam hal inovasi, membangun fondasi yang benar dan tepat sangatlah berguna.
Melatih diri untuk berpikir kritis sangatlah penting. Apalagi, saat ini kita dibanjiri arus informasi yang berlebih. Jika tak mau terbawa arus ke jurang, maka bangun kemampuan untuk menyaring informasi, menganalisa, dan mengambil kesimpulan berdasarkan fakta dan realita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H