Bahasa berubah seiring hadirnya teknologi pada pemakainya. Ada banyak kata yang kini diadopsi menjadi koleksi kosakata dalam bahasa Indonesia. Umumnya kata-kata tersebut berasal dari singkatan yang mengarah pada kelakuan dan kebiasaan yang menjelaskan kepribadian seseorang.
Tentunya perubahan ini tidak sepanik dahulu kala saat teknologi belum menjadi sandaran hidup, akibatnya ada banyak kata yang 'lari' dari konteks makna secara literal.Â
Seringkali karena pengaruh bahasa asing, seperti bahasa Inggris yang membuat pemakai bahasa condong memperpendek dan menyingkat serta melebel makna secara sepihak.
Tren ini lalu berkembang luas pada kaum remaja yang lebih mudah tergelincir untuk menggunakan kata-kata ini. Seiring waktu, karena faktor media sosial, kata-kata ini sampai pada telinga banyak orang.
Lalu, mau tidak mau orang-orang mulai mengadopsi ke dalam bahasa lokal dan terjadilah asimilasi atau pembauran bahasa. Lama-kelamaan jenis kata yang sering dipakai akan terbiasa pada lidah pemakai, apalagi jika mampu menjangkau lebih banyak pendengar dari berbagai kalangan.
Di satu sisi, saya sedikit mengkhawatirkan tren adopsi kata seperti ini. Alasannya, karena lambat laun pemakai bahasa akan kehilangan jati diri akan makna kata yang sebenarnya.
Bukan hanya itu, pelebelan makna pada kata yang berasal dari singkatan atau kependekan juga meengarahkan pemakai bahasa pada identitas yang tidak menggambarkan kebudayaan atau adat istiadat.
Sistem adopsi bahasa seperti ini tidak terjadi sebelum era teknologi. Kenapa, karena kata-kata serapan dahulunya tidak berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya dari tontonan atau bacaan yang mengacu pada tren hidup.
Contoh kecil, kata lemot yang berasal dari singkatan LEmah OTak tentu tidak bisa dipahami dengan mudah oleh semua kalangan. Lebih dari itu, saya pribadi mengganggap bunyi kata ini terkesan sedikit negatif jika digunakan.
Atau contoh lainnya Bucin yang memiliki makna rela mengorbankan apa saja demi cinta atau merupakan singkatan BUdak CINta. Tren penggunaan kata ini pun ada pada generasi muda yang boleh dikatakan masih labil dalam berbahasa.
Jadi, pada dasarnya penggunaan kata-kata seperti ini masih melekat erat pada konteks anak muda. Artinya, jika digunakan dalam konteks luas yang melibatkan semua umur, maka kata ini sedikit tidak relevan menggambarkan kepribadian.
Kita tidak bisa menafikan memang kemunculan kata-kata atau istilah baru kerapkali dipopulerkan oleh para remaja.Â
Pertama, mereka memiliki akses berlebih pada informasi. Kedua, kepopuleran kata-kata ini juga bersebab sirkulasi informasi yang sanghat cepat.
Mungkin kata-kata seperti ini tidak bisa berpindah ke banyak telinga jika bukan karena faktor sosial media. Apalagi, pola brand ambassador, influencer, dan YouTuber mampu menggerakkan pengguna secara masif.Â
Namun dari itu, hendaknya kita tidak latah dengan serta merta menggunakan kata-kata ini pada konteks yang mungkin saja tidak relevan. Ada faktor adab kesopanan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan.
Sayangnya, banyak kalangan condong terdorong arus untuk mengaplikasikan kata-kata yang mereka sendiri belum memahami secara pasti apa makna dibelakangnya. Akibatnya, pergeseran makna bisa terjadi.
Bahasa memang akan terus berkembang dan menjalar ke pelosok negeri. Kendatipun demikian, jadilah pemakai bahasa yang memiliki prinsip berbahasa sesuai kaidahnya.
Jangan sampai, anak-anak cucu kita menjadi pemakai bahasa yang latah dan tidak lagi memahami tutur kata yang mengandung filosofis. Hal ini sedikit dem sedikit sudah terlihat.
Anak-anak mulai latah menggunakan istilah yang secara tidak langsung menggambarkan kepribadian yang boleh dikatakan tidak baik. Tidak mungkin tidak kedepan fungsi kata berubah lari dari rel sebenarnya.
Sebelum itu semua terjadi, tetapkan menjaga adab berbahasa sesuai ranah yang dipahami. Jangan memakai kata-kata hanya sebagai tren saja atau sekedar ingin tampil beda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H