Jadi, pada dasarnya penggunaan kata-kata seperti ini masih melekat erat pada konteks anak muda. Artinya, jika digunakan dalam konteks luas yang melibatkan semua umur, maka kata ini sedikit tidak relevan menggambarkan kepribadian.
Kita tidak bisa menafikan memang kemunculan kata-kata atau istilah baru kerapkali dipopulerkan oleh para remaja.Â
Pertama, mereka memiliki akses berlebih pada informasi. Kedua, kepopuleran kata-kata ini juga bersebab sirkulasi informasi yang sanghat cepat.
Mungkin kata-kata seperti ini tidak bisa berpindah ke banyak telinga jika bukan karena faktor sosial media. Apalagi, pola brand ambassador, influencer, dan YouTuber mampu menggerakkan pengguna secara masif.Â
Namun dari itu, hendaknya kita tidak latah dengan serta merta menggunakan kata-kata ini pada konteks yang mungkin saja tidak relevan. Ada faktor adab kesopanan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan.
Sayangnya, banyak kalangan condong terdorong arus untuk mengaplikasikan kata-kata yang mereka sendiri belum memahami secara pasti apa makna dibelakangnya. Akibatnya, pergeseran makna bisa terjadi.
Bahasa memang akan terus berkembang dan menjalar ke pelosok negeri. Kendatipun demikian, jadilah pemakai bahasa yang memiliki prinsip berbahasa sesuai kaidahnya.
Jangan sampai, anak-anak cucu kita menjadi pemakai bahasa yang latah dan tidak lagi memahami tutur kata yang mengandung filosofis. Hal ini sedikit dem sedikit sudah terlihat.
Anak-anak mulai latah menggunakan istilah yang secara tidak langsung menggambarkan kepribadian yang boleh dikatakan tidak baik. Tidak mungkin tidak kedepan fungsi kata berubah lari dari rel sebenarnya.
Sebelum itu semua terjadi, tetapkan menjaga adab berbahasa sesuai ranah yang dipahami. Jangan memakai kata-kata hanya sebagai tren saja atau sekedar ingin tampil beda.Â