Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Firing dan Quiet Quitting, Dua Istilah yang Lahir dari Generasi Berbeda

22 September 2022   13:14 Diperbarui: 22 September 2022   13:29 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi quiet firing. Sumber: kompas.com

Kedua istilah ini (quiet firing & quiet quitting) menjadi frasa baru yang muncul ke permukaan baru-baru ini. Adapun quiet quitting muncul lebih dahulu sebagai tanggapan para pekerja terhadap lingkungan kerja, sementara quiet firing menjadi sebuah respon atasan terhadap kualitas kerja bawaan.

Tentunya istilah quiet quitting tidak dikenal oleh kalangan baby boomers (mereka yang lahir tahun 1946-1964) dan  generation x (mereka yang lahir pada tahun 1965-1980) dan juga generation z (mereka yang lahir pada pertengahan tahun 1990-2010). 

Jika merujuk pada Wikipedia, istilah quiet quitting baru muncul pada 2009 saat simposium ekonomi di universitas Texas A&M dipelopori oleh Mark Boldger. Walaupun demikian, dari segi aspek kerja dan budaya, quiet qutting sudah mulai dikenal dalam ranah perfileman dengan menghadirkan budaya kerja yang menuntut.

Nah, pada tahun 2022 istilah quiet quitting muncul lagi ke permukaan dan menjadi viral akibat banyaknya fenomena pekerja yang berhenti dalam senyap karena 'beratnya' tuntutan kerja.

Bagi para baby boomers, mental quiet quitting terdengar cemen. Kehidupan yang lebih keras dengan lowongan kerja terbatas bagi kaum baby boomers menjadikan titik pandang berbeda pada frasa yang sama.

Wajar saja apa yang menjangkit para milenial atau sebagian dari generasi z tidaklah sama dengan apa yang dihadapi para baby boomer. Kondisi kerja dan beban kerja tanpa teknologi saat dahulu menjadi penentu kualitas mental.

Manajemen dan kultur kerja 

Quiet quitting pada dasarnya muncul karena anggapan beban kerja yang tak seimbang dengan gaji yang diterima pekerja, sehingga banyak pekerja yang merasa 'dirugikan' dan berhenti dalam senyap.

Faktor lain juga bersebab karena adanya dorongan untuk bekerja di tempat lain dengan bayaran yang lebih baik. Banyaknya pilihan pekerjaan dengan mode online dan offline menjadi kultur quiet quitting semakin marak. 

Hal serupa tidak mudah didapat oleh para baby boomers, dimana pekerjaan masih terbatas pada offline saja. Jelas saja istilah ini tidak populer saat itu.

Nah, perbedaan manajemen kerja jaman dahulu dan sekarang pastinya berbeda. Ini menyebabkan kultur kerja yang diwariskan dari generasi berbeda juga memiliki keunggulan dan kekurangan tersendiri.

Misalnya, sebelum penggunaan komputer secara masif, pekerjaan administrasi masih menggunakan mesin tik atau tulisan tangan yang tidak bisa digandakan dengan cepat.

Ketika komputer hadir dengan perangkat software yang handal, ritme kerja berubah dan dengan sendirinya merubah kultur kerja dari individu menjadi grup atau bisa saja sebaliknya.

Artinya, apa yang dahulu dianggap sulit bisa dengan mudah diselesaikan oleh perorangan melalui penggunaan software tertentu. Disatu sisi ini sangat membantu pada efisiensi kerja, disisi lain ini bisa menjadi bumerang.

Berbicara efisiensi kerja, kita juga membahas produktifitas. Seharusnya, dengan penggunaan software produktifitas kerja bisa di dongkrak, namun sayangnya ada faktor lain yang juga berperan disini.

Misalnya, etos kerja dan budaya kerja yang buruk bisa saja memperlambat kerja sehingga tidak efektif dan berunjung pada menurunnya produktifitas. 

Contoh kecil, para pegawai yang seharusnya mempermudah akses kepada masyarakat dengan penggunaan software saat bekerja tidak menjamin hasil akhir yang memuaskan jika etos buruk dengan budaya santai dan tidak mengupgrade diri dengan baik.

Pemicu quiet quitting dengan kultur kerja santai tentunya berakibat negatif bagi para pekerja. Lumrahnya fenomena berhenti dalam senyap tidak harus terjadi jika pekerja mampu bercermin dari kualitas kerjanya.

Jika pekerja merasa tidak puas atau kerja mereka tidak setimpal dengan gaji, maka ada baiknya terlebih dahulu melihat rekam jejak kerja mereka, apakah sudah melakukan sesuai SOP kerja atau mungkin saja belum maksimal.

Sah-sah saja jika pekerja sudah merasa melakukan yang terbaik untuk perusahaan atau tempat kerja, lalu disisi lain perusahaan tidak memanusiakan pekerja dengan upah setimpal atau memberi bonus jika pencapaian meningkat.

Manajemen dan kultur kerja sebuah perusahaan juga sangat berkontribusi pada mundurnya karyawan secara masif, jika ini terjadi perusahaan harus bersiap untuk dirugikan.

Memang jumlah para quite quitter semakin hari semakin meningkat, berbagai alasan kerap hadir sebagai tanggapan atas jumlah gaji yang tidak seimbang. 

Perusahaan bisa dengan gampang menggantikan pekerja lama dengan para pekerja baru jika pekerja berhenti dalam senyap. Namun, jika yang berhenti adalah para pekerja dengan etos kerja yang baik tentunya akan merugikan performa perusahaan dalam jangka panjang.

Quiet firing sebagai Respon

Akibat maraknya para pekerja yang mempopulerkan istilah quiet quitting, perusahaan membalasnya dengan sebutan quite firing yaitu memdiamkan karyawan secara sepihak.

Beban gaji yang besar menjadi pertimbangan perusahaan untuk memperkerjakan mereka yang dianggap 'pahlawan'. Akhirnya, perusahaan mau tidak mau harus terlihat cerdik dengan memangkas karyawan yang dianggap berpotensi merugikan.

Jika pekerja bisa mundur dalam diam, perusahaan bisa memecat karyawan dengan cara halus. Alasannya bisa apa saja, mula dari performa kerja yang buruk, etos kerja menurun, dan lainnya.

Ringkasnya, perusahaan bisa mencari sebab untuk memberhentikan karyawan secara sepihak dengan mengalihkan beban kerja ke orang lain atau mengerucutkan divisi tertentu, sehingga pekerja tidak punya pilihan selain mundur.

Ada juga kasus dimana perusahaan melimpahkan beban kerja berlebihan diluar job desk dan membiarkan karyawan/pekerja linglung tanpa arahan, pada akhirnya pekerja merasa tidak nyaman dan mengundurkan diri.

Nah, yang menjadi masalah besar adalah kurangnya komunikasi dari atasan ke bawahan. Di beberapa perusahaan dengan manajemen yang kurang bagus, karyawan tidak diarahkan/dibimbing dengan baik.

Pola seperti ini menjadi penyakit menular yang menjadikan kultur kerja buruk. Para karyawan/pekerja dianggap sapi perah yang siap dipakai. Jadinya, ekpektasi kerja tinggi, namun supervisi sangat minim dilakukan.

Dalam kondisi seperti ini banyak pekerja yang kehilangan arah dan tidak tahu dengan jelas apa yang harus dilakukan, sementara perusahaan tidak mau mengivestasi uang pada kecakapan karyawan.

Perusahaan atau tempat kerja dengan kultur kerja seperti ini biasanya berakhir pada lingkungan kerja yang sama sekali tidak produktif. Kalaupun karyawan bekerja, mereka hanya terdorong karena uang saja, selebihnya biarkan saja seadanya.

Jika keadaan ini terus berlanjut, hanya ada satu solusi: pekerja berhenti atau perusahaan memberhentikan. Kalau perusahaan tidak mempunyai perhitungan yang baik di awal, para pekerja bisa tersudutkan dengan kebijakan pemberhentian sepihak.

Baik quiet quitting ataupun quiet firing, keduanya seperti koin dengan dua arah atau sebilah pedang bermata dua. Masing-masing memiliki argumen dengan sudut pandang sendiri. 

Intinya, keduanya bisa menghadirkan manfaat atau juga mengundang malapetaka jika diterapkan pada konteks yang tidak benar. Para pekerja yang melakukan quiet quitting  bisa berakhir buruk tanpa pertimbangan jelas di awal.

Begitu pula dengan perusahaan yang melakukan quite firing tanpa analisa kualitas kerja karyawan dengan tertruktur. Alangkah baiknya lagi jika perusahaan memiliki standar kerja yang jelas, beban kerja yang terukur dan gaji yang relevan.

Kultur kerja yang baik dalam sebuah perusahaan/organisasi atau apapun bisa menghilangkan kedua istilah yang saya bahas di tulisan ini.  

Pertanyaannya? siapkah kita bekerja dengan baik untuk melayani atau kita lebih suka untuk dilayani? hmmm. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun