Memang jumlah para quite quitter semakin hari semakin meningkat, berbagai alasan kerap hadir sebagai tanggapan atas jumlah gaji yang tidak seimbang.Â
Perusahaan bisa dengan gampang menggantikan pekerja lama dengan para pekerja baru jika pekerja berhenti dalam senyap. Namun, jika yang berhenti adalah para pekerja dengan etos kerja yang baik tentunya akan merugikan performa perusahaan dalam jangka panjang.
Quiet firing sebagai Respon
Akibat maraknya para pekerja yang mempopulerkan istilah quiet quitting, perusahaan membalasnya dengan sebutan quite firing yaitu memdiamkan karyawan secara sepihak.
Beban gaji yang besar menjadi pertimbangan perusahaan untuk memperkerjakan mereka yang dianggap 'pahlawan'. Akhirnya, perusahaan mau tidak mau harus terlihat cerdik dengan memangkas karyawan yang dianggap berpotensi merugikan.
Jika pekerja bisa mundur dalam diam, perusahaan bisa memecat karyawan dengan cara halus. Alasannya bisa apa saja, mula dari performa kerja yang buruk, etos kerja menurun, dan lainnya.
Ringkasnya, perusahaan bisa mencari sebab untuk memberhentikan karyawan secara sepihak dengan mengalihkan beban kerja ke orang lain atau mengerucutkan divisi tertentu, sehingga pekerja tidak punya pilihan selain mundur.
Ada juga kasus dimana perusahaan melimpahkan beban kerja berlebihan diluar job desk dan membiarkan karyawan/pekerja linglung tanpa arahan, pada akhirnya pekerja merasa tidak nyaman dan mengundurkan diri.
Nah, yang menjadi masalah besar adalah kurangnya komunikasi dari atasan ke bawahan. Di beberapa perusahaan dengan manajemen yang kurang bagus, karyawan tidak diarahkan/dibimbing dengan baik.
Pola seperti ini menjadi penyakit menular yang menjadikan kultur kerja buruk. Para karyawan/pekerja dianggap sapi perah yang siap dipakai. Jadinya, ekpektasi kerja tinggi, namun supervisi sangat minim dilakukan.
Dalam kondisi seperti ini banyak pekerja yang kehilangan arah dan tidak tahu dengan jelas apa yang harus dilakukan, sementara perusahaan tidak mau mengivestasi uang pada kecakapan karyawan.