Dua alur berpikir antara kedua orang ini memberikan efek yang berbeda. Si A lebih mudah menemukan cara untuk menyembuhkan anaknya karena ia mengontrol pikirannya pada penyembuhan.
Si B tanpa ia sadari menfokuskan arah pikirannya pada siapa yang membawa lari uangnya ketimbang mencari cara untuk membangun kembali bisnisnya yang sudah mulai hancur.
Kemana Energi Pikiran Tersalurkan?
Energi yang kita habiskan dari dua cara berpikir tentunya berdampak berbeda pada kondisi tubuh. Dalam konteks cerita di atas, si A akan lebih mudah mendapatkan solusi karena sisi positif arah pikiran yang ia hasilkan.
Sementara si B yang terus menerus fokus pada masalah akan lebih sulit mendapatkan solusi karena tubuhnya terperangkap pada putaran masalah.
Pikiran yang kita hasilkan sebagian besar berasal dari kebiasaan yang kita dapat saat kecil. Orangtua yang sering memarahi, menyalah-nyalahkan anak, membeda-bedakan anak dengan orang lain akan lebih mudah mewarisi cara berpikir negatif kepada anak.
Pikiran negatif sangat rentan pada depresi/stres yang menutup hadirnya solusi pada masalah. Ketika seseorang fokus pada masalah maka pikiran mengarahkan tubuh untuk mengedepankan sisi negatif ketimbang positif.
Misalnya, si B yang terus menerus menyalahkan diri karena percaya pada bawahannya menghabiskan energi tubuh yang sangat besar sehingga otak tidak membuka ruang untuk melihat sisi positif.
Dalam kondisi seperti ini, jikapun ada orang yang memberi nasihat untuk kembali memulai bisnisnya, si B tetap lebih memilih pada alur pikiranya ketimbang mencoba solusi yang ditawarkan orang lain.
Padahal, dengan mengarahkan pikiran kepada masalah, si B akan terperangkap pada keadaaan yang sama dan tidak akan merubah apa yang sudah terjadi. Sebaliknya, jika si B mengarahkan pikiran untuk kembali menata bisnisnya maka kemungkinan untuk bangkit lebih besar.
Semua kita punya pilihan untuk mengarahkan cara berpikir. Apakah condong pada masalah atau fokus pada solusi. Namun, kemampuan fokus pada solusi tidaklah mudah.